16. Paradox

7K 257 19
                                    


Jalan dari pantry menuju ke ruangan yang lumayan dekat jadi berasa bermil-mil jauhnya. Otak gue nggak berhenti berpikir soal kemungkinan Alvin ada affair lagi sama Farah. Tapi gue masih berpikir jernih dan lurus, ini sesuatu yang apabila dibandingkan dengan project berskala nasional yang lagi gue kerjain, bisa banget buat dikupas dan diselidiki lebih lanjut.

Soal kenapa mereka bisa dateng barengan, okelah bisa jadi si Farah mobilnya mogok atau lagi males nyetir terus minta jemput. Who knows ternyata Alvin pacar gue orangnya emang sebaik itu. Dan naif banget kalo gue bangga punya pacar yang baik hati mau jemput orang yang kesusahan tapi Hei.. Farah siapa sih? Mantannya kan, nggak ada jaminan mereka nggak jatuh cinta lagi dengan pertemuan itu, apalagi mereka bertemu sama circle masa lalu. Bisa banget semua kenangan dan kebiasaan lama terulang kembali kan.

Tapi masa gue sebegininya mencurigai pacar sendiri hanya karena melihat foto yang diberikan oleh Desca, perempuan divisi lain yang gue juga gak kenal-kenal amat. Apakah ada persekongkolan antara Farah dan Desca agar supaya foto ini sampe ke gue dan membuat gue bertengkar sama Alvin? Tapi kalau semisal Desca nggak ngomong, sudah pasti gue nggak akan tau soal ini sampai kapanpun karena Alvin sendiri nggak kira cerita juga.

Ternyata gue gagal berpikir lurus dan positif.

Langkah kaki gue berhenti tepat di depan pintu ruangan. Pintu akses tercepat dari pantry ini berada tepat di sebelah mejanya Alvin. Entah kenapa kali ini gue nggak mau berhadapan langsung sama pacar sendiri. Sebenarnya apa sih yang bikin nggak nyaman, gue sebegini nya nggak bisa face the problem. Apakah sebenarnya gue takut kalau kenyataannya mereka memang ada affair lagi dan gue belum siap kehilangan Alvin?

Akhirnya, gue memutar badan, memilih buat nggak buka pintu ini dan masuk lewat pintu utama.

Gue masuk ke ruangan dan langsung menuju meja tanpa mengindahkan tatapan Alvin yang berusaha banget kontak mata sama gue. Kali ini yang gue butuhkan adalah escape plan, rasanya masih nggak ngerti harus berbuat apa. Di satu sisi gue nggak mau kehilangan Alvin dan di sisi yang lain hati gue sakit banget.

Sesampainya di meja gue menyibukkan diri dengan melanjutkan project mega dewa yang sedang gue handle bareng Radit. Gue juga sengaja mematikan ponsel dan tidak membuka akses komunikasi lewat sosial media lainnya. Headset Miniso warna putih gue pasang di telinga dengan volume yang lumayan bisa bikin gendang telinga ngilu. Bodo amat sih, gue lagi ada di mode senggol bacok gini mending mengalihkan fokus ke sesuatu yang bermanfaat, ngerjain semua task hari ini, misalnya

Tiba-tiba ada gerakan mencurigakan di lengan kiri gue dan membuat gue mengalihkan fokus dari layar laptop. Gue menoleh dan mendapati makhluk astral berwujud Radit lagi menoel-noel lengan gue. Dan gue juga baru sadar kalau di ruangan ternyata sisa beberapa orang aja, Alvin dan tim BTI nggak ada di mejanya.

Gue melepas headset dan menatap tajam manusia yang lagi senyum pepsodent sebelah gue ini. Cengengesan nggak jelas minta banget buat di tabok. "Apa sih nyet?"

"Jam kosong cuy" Radit mendekatkan kursinya ke meja gue. Jam kosong yang dimaksud adalah tidak ada SPV yang mengawasi pekerjaan kita. Entah kemana perginya orang-orang sehingga ruangan jadi sepi begini.

"Lo kenapa deket-deket gue. Sana balik meja lo sendiri"

"Sensi amat sih, kelihatan lagi nggak having fun banget, tumben"

Opini Radit barusan langsung menyetrum gue. "Ada-ada aja sih, Gue lagi Happy gini"

"Nah kan, makin ngaku-ngaku happy, makin kelihatan sebaliknya nih"

Gue memutar bola mata, malas menanggapi manusia yang kadang taraf kepekaannya melebihi rata-rata ini. Harusnya cewek pada suka kan sama cowok yang peka, cuma sampai sekarang si Radit masih aja jomblo. Curiga gue, jangan-jangan doi homo.

Love IssueWhere stories live. Discover now