18. Final Chapter 1 - Jika jatuh, jatuhlah seluruhnya

7K 303 27
                                    

Gue membuka satu per satu kelopak mata

Gue nggak tau sekarang jam berapa yang jelas satu hal yang langsung terasa adalah kram di kedua kaki gue. Jari-jari gue bergerak meraba pakaian dan langsung menyadari bahwa gue masih pakai setelan baju kerja lengkap dengan jam tangan dan kaos kaki. Super sekali. Masih dalam kondisi antara sadar nggak sadar gue melihat jam tangan dan ternyata sekarang pukul 3 sore.

Hari kerja, jam 3 sore dan gue baru bangun tidur.

Bicara soal hari kerja, seharusnya gue masih di kantor jam segini. Sebentar... kepala gue tiba-tiba sakit banget. Susah payah gue meraih laci meja karena semua benda di kamar ini sekarang bergerak sendiri. Semakin banyak gue menggerakan badan, kamar ini makin berputar. Holly shiit.... Kenapa vertigo harus kambuh disaat seperti ini.

Tapi usaha gue meraih laci meja membuahkan hasil. Obat vertigo gue akhirnya meluncur ke dalam perut dengan selamat meskipun gelas gue hampir jatuh.

Gue kedinginan. Sambil meringkuk di dalam selimut dan memeluk tumbuh sendiri. Gue menyalakan ponsel yang tadi sempat gue matikan sesaat setelah memberi kabar ke atasan dan ke Radit bahwa gue izin cuti setengah hari karena tiba-tiba saja diare. Instan karma banget karena telah berbohong, gue malah jadi sakit beneran sekarang. Sial.

Setelah ponsel gue menyala, beberapa pesan masuk bersamaan adalah pesan dari Radit, SPV dan Manager gue. Gue cuma lihat sekilas pesan dari mereka yang intinya suruh istirahat, minum obat dan seperti biasa, setan berwujud Radit tidak akan semudah itu percaya kalau gue kena diare. Gue tunggu beberapa menit tapi nggak ada satu pun pesan dari Alvin. Oh shiittt... bahkan gue masih mengharap dia menghubungi gue padahal gue tahu bahwa harapan ini tidak akan pernah terjadi. Meskipun tidak ada kata "putus" secara langsung, tapi gue rasa semua penjelasan Alvin tadi sudah lebih dari sekedar kata putus. Dia sudah mengambil keputusan dan pada akhirnya bukan gue yang dipilih.

Ngilu. Rasanya sakit yang tidak bisa dijelasin dari dalam dada dan gue hanya bisa menekan dada kuat-kuat, berharap sedikit meredam sakitnya tapi yang ada gue malah sesak napas. But, its never mind , seenggaknya sedikit memberikan distraksi dari sakit hati gue. Sialnya, gue ingat dengan jelas semua kata-kata Alvin siang tadi, bagaimana ekspresinya, gesturnya dan tatapan matanya yang tidak bisa berbohong bahwa, he totally messed up. 

Mata gue rasanya sudah tidak bisa lagi mengeluarkan air mata. Tadi siang setelah tidak ada lagi yang bisa gue bicarakan dengan Alvin dan setelah jeda panjang diantara kita, rasanya gue perlu jeda. Tidak mungkin gue bisa menghabiskan sisa jam kerja di ruangan yang sama dengan Alvin garis miring orang yang sudah bikin gue ingin jadi pembunuh saat itu juga.

Gue ingat sekali tadi siang gue mendorong pintu lobby dan langsung berlari menuju gerbang utama. Gue sudah tidak peduli dengan tatapan penuh tanda tanya dari resepsionis dan satpam. Yang gue pedulikan saat itu adalah pergi sejauh mungkin dari Alvin, dari kantor. Gue berlari dan terus berlari melawan arus manusia yang akan balik ke kantor setelah makan siang. Gue berlari ke arah sebaliknya. Di sisa-sisa kesadaran, gue tetap tidak bisa lari dari tanggung jawab, masih ada pekerjaan dan jam kerja reguler kantor yang gue tinggalin gitu aja. Yang ada di pikiran saat itu adalah izin cuti setengah hari karena tiba-tiba diare. Harusnya bikin alasan yang keren dikit sih, tapi seperti terkena brainwash, otak gue kosong

Ponsel gue berdering, tertulis di layar, Rakun Radit.

"Hal..."

Belum genap kalimat sapaan dari gue, Radit sudah lebih dulu memecahkan gendang telinga. "Ya ampun bisa ngebaca whatsapp gue tapi nggak bisa bales lo ya.. Emang gue dagang koran?"

"Pelan-pelan ngomongnya, setan" gue berbicara sambil memijat pelipis yang masih berdenyut

"Lo sakit apa? Tumben manusia kayak lo bisa sakit" Radit sudah mulai menurunkan volume bicaranya, tapi masih menyebalkan

Love IssueWhere stories live. Discover now