17. Sebenarnya siapa yang bajingan disini?

6.3K 247 15
                                    

Sekembalinya gue dari makan siang di McD adalah tepat ketika jam istirahat selesai kurang 10 menit. Gue menyilahkan Alvin buat naik duluan ke ruang IT sementara gue mau ke toilet deket lobby dulu. Gue membasuh muka di wastafel dan melihat pantulan wajah gue di kaca. Hal terbodoh yang dilakukan oleh April sepanjang siang ini adalah makan bareng sama pacarnya seakan tidak sedang terjadi prahara yang bisa merusak hubungan. Fix, cinta sudah bikin gue buta, gue mulai tidak bisa membedakan yang baik dan benar.

Sekali lagi gue membasuh muka saat air mata mulai jatuh dari mata kiri gue.

Gue melangkah malas keluar toilet karena masih harus melewati 5 jam di dalam ruangan dan harus berusaha stay cool and calm seakan enggak terjadi apa-apa. Hari ini gue jadi orang fake banget sumpah. 

Jalan dari lobby menuju ruang kerja, gue harus menaiki tangga dan ternyata di ujung tangga Alvin nungguin gue. Doi berdiri bersandar jendela kaca dengan satu tangannya dimasukkan kedalam celana. Siluet tubuhnya sempurna, dan bagaimanapun berantakannya perasaan gue saat ini, tetep nggak bisa denial perihal pesonanya makhluk, devil setan berwujud Alvin siang ini.

"Kok lama, sakit perut?" Alvin melangkah menghampiri gue yang masih berdiri di ujung tangga. Terpesona sama pacar sendiri yang sialnya malas banget anggap dia pacar.

"Enggak kok, antri tadi toiletnya"

"Kamu kurang sehat, sayang?" Doi menempelkan telapak tangannya ke dahi gue.

Gue menepisnya, bisa-bisanya manusia ini malah sok baik. Sialan kan gue beneran mau muntah rasanya. "haha apasih, Sehat gini, nggak mau masuk ruangan?"

"Ngobrol bentar yuk, telah 15 menit nggak papa harusnya" Alvin melihat smartwach nya bergantian dengan melihat kearah gue.

Gue mengangguk, Alvin berjalan duluan beberapa langkah di depan gue. Punggung tegapnya gue tatap lamat-lamat. Setiap langkah kaki yang gue ayunkan untuk menyusul Alvin terasa semakin berat. Udara di sekitar gue rasanya juga makin tipis padahal gue cuma berada di lantai dua gedung kantor tapi rasanya seperti sedang berada di pegunungan Nepal dengan kadar oksigen yang rendah. Entah kenapa gue seperti mendengar alam sedang menyanyikan lagu perpisahan. Setiap langkan gue rasanya sedang menuju jurang dan gue sedang ditarik paksa untuk terjun bebas ke dalamnya.

Alvin berhenti di tangga, tangga yang sama dimana dulu gue meminta dia buat menjalani dating time agar bisa saling mengenal satu sama lain. Mengingat semua kejadian di tempat ini otak gue terasa penuh dengan serangan ingatan yang tiba-tiba dan seolah mengerti betapa kalutnya perasaan gue saat ini, Alvin tiba-tiba menggenggam tangan gue.

"Aku kemarin ketemu Farah"

To the point, Alvin masih jadi seseorang yang tidak suka bertele-tele. Dan satu kata dari dia benar-benar berhasil meniadakan oksigen di sekitar, gue sekarat.

"Maaf aku nggak cerita, aku belum siap."

Gue memejamkan mata, merasakan seluruh persendian ini mulai melemas. Percuma gue menghirup udara panjang-panjang jika hidung gue mulai tersumbat. Ya, benar sekali. Gue susah payah menahan air mata yang mau keluar. Gue enggak mau kelihatan lemah apalagi di depan seseorang yang sekarang sedang berusaha menghancurkan hidup gue, perasaan gue.

Lama, Alvin hanya diam. Gue sudah berhasil mengendalikan diri dan memilih buat melemparkan senyum kearahnya, seem stupid but hey... this is will be the end of the story, right. nggak ada salahnya tersenyum saat hati rasanya dicabik-cabik.

Mata Alvin tampak mati, untuk pertama kalinya gue menyaksikan mata yang selalu penuh cinta ketika melihat gue, kali ini sinar itu redup. Ia tampak pucat. Mata kita bertemu dan ia membuang muka. Jelas sudah ini adalah akhir dari semua kisah.

Love IssueWhere stories live. Discover now