Jerman?

1.9K 157 15
                                    

NAMJOON

Aku terbangun esoknya, setelah Yoongi menangkapku dari jatuh yang tiba-tiba semalam, disinilah Aku, dengan Jimin yang menangis ditemani sang kakek dan Jungkook yang tertidur tidak nyaman di sofa.

Semua menjadi baik-baik saja seiring berjalannya waktu, tapi tidak dengan Taehyung. Sudah dua minggu sejak Taehyung kambuh, dia tertidur cukup lama setelah serangan malam itu, tiga hari lamanya, Jimin dan Jungkook tak mau kesekolah, hanya ingin menemani Taehyung, bahkan setelah sadar mereka tetap tak akan berangkat, aku terpaksa harus menelepon wali kelas untuk menjemput mereka, mengatakan bahwa mereka bisa saja tinggal kelas atau keluar dari sekolah.

Selama satu minggu lebih pula Taehyung tak mengijinkan kami berada disampingnya, Yoongi mengatakan keadaannya sudah lebih baik daripada malam itu, tapi Taehyung berubah. Dia tidak mau didekati Jimin dan Jungkook, apalagi denganku. Dia selalu menolak kehadiran kami jika dia dalam keadaan sadar. Aku terpaksa memperkerjakan perawat pribadi untuk menemaninya dalam ruangan selama dia dalam keadaan bangun.

Semua kegiatannya dibantu oleh Seokjin (perawat barunya), mulai dari makan, kamar mandi, mengelap tubuhnya, menemaninya tidur, bahkan saat dia terlalu banyak pikiran atau stress, dia hanya meminta Seokjin disana untuk mengelus bagian tubuhnya yang sakit. Dia tidak mengijinkanku, Jimin, dan Jungkook masuk.

Malam itu, 15 hari setelah Taehyung kambuh, dia mual habis-habisan, memuntahkan semua makanan yang susah payah Seokjin suapkan kedalam mulutnya, saat Jimin membuka pintu dan mencoba menyentuh tubuhnya, dorongan yang Jimin dapat.

"Taehyung, biar Ayah bicara bisa? Ayah ingin mengobrol sedikit dengan Anak Ayah." Aku memaksa masuk, memberanikan diri. Meski terakhir kali aku mencoba mengajaknya bicara dia melempar bantal karena sebelumnya aku memaksa berbicara meskipun dia sudah memalingkan wajah dan tubuh, pernah dia menutup semua tubuhnya dengan selimut, hingga membahayakan dirinya sendiri.

"Apa yang ingin dibicarakan. Aku akan berhenti sekolah seperti keinginan Ayah. Aku akan pergi ke Jerman, tinggalkan saja Aku, dan pulang setelah 3 bulan disana, aku ingin disana sendiri, aku sudah memutuskannya."

"Ayah akan ikut."

"Aku memaksa, jika Ayah ikut aku akan kabur dari rumah dan mencari jalan hidupku sendiri."

Aku menunduk, air mataku menetes.

"Nak bukan ini yang Ayah mau, bisakah Taehyung paham."

Dia mengehela napas dan menyentuh bahuku.

"Ayah, ini juga bukan yang Taehyung mau, Aku hanya butuh keluarga kita, aku tidak butuh harapan jantung baru, tidak butuh dokter hebat, aku lebih takut ketika melakukan operasi, aku takut aku tidak bisa bertemu kalian, tidak bisa melakukan hal yang selama ini begitu menghantui aku."

"Kita bisa optimis, kamu pasti bisa."

"Meja operasi juga bisa menghabisiku Yah, seberapapun aku merasa optimis bahwa aku mampu, aku tau, operasi pertama, aku hilang napas, aku sempat menolak, bahkan jantungku tak bekerja. Operasi kedua, aku begitu takut melakukan ini, bisa saja aku habis diruang operasi. Aku takut aku akan gagal. Tapi untuk yang ketiga kalinya? Aku tidak begitu yakin Tuhan akan sabar menyelamatkan nyawaku."

Aku tersenyum.

"Baiklah jika itu yang Taehyung mau, kita tidak akan ke Jerman. Kita akan terus hidup berempat. Tapi Taehyung harus janji, Taehyung harus bertahan, anak Ayah harus mau berjuang bersama Ayah dan saudaranya. Dan maaf, Taehyung harus berhenti sekolah, Taehyung harus selalu berada dalam pengawasan dokter Yoongi dan Kak Seokjin. Bagaimana bisa?"

"Ayah, rasanya lebih sakit melihat kalian menangis karena aku. Aku tak bisa untuk berhenti sekolah, tapi aku akan mencoba. Aku sudah merasakannya, meskipun berakhir di ruang kesehatan. Setidaknya aku tak penasaran bagaimana rasanya pergi ke gedung yang penuh dengan teman sebayaku, mengenakan sepatu, menggendong tas. Tapi Ayah, aku punya beberapa keinginan yang aku tulis, biarkan aku mencoba semuanya meskipun hanya satu kali, boleh ya?"

A Poem for the Small ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang