Prolog

76.4K 4.7K 179
                                    

MERDEKA

Namaku Merdeka bukan karena aku lahir tanggal 17 Agustus, tetapi karena saat itu orangtuaku sedang merayakan kemerdekaan mereka. Walau namaku Merdeka, keseharianku tidak semerdeka namaku. Aku punya dua adik perempuan, yang satu baru masuk sekolah menengah dan mulai kasmaran, sedangkan yang paling kecil masih berumur 9 bulan. Kini aku akan ketambahan adik lagi karena orangtuaku masih berprinsip banyak anak banyak rezeki.

"Bang Dekaaaa, tolong jagain Liora."

Kami hanya memiliki Mbak Noor yang harus menyiapkan makan, membersihkan rumah, dan mengurus pakaian kotor sehingga tidak bisa sering mengasuh Liora. Liora yang masih kecil tidak memiliki pengasuh, Bundaku sendiri yang mengurus adikku itu. Jadi jika Bundaku akan berpergian akulah yang akan mengurus Liora sepulang dari sekolah.

Aku duduk di sofa, Liora tiduran di kursi goyangnya. Aku menggoyangkan kursi goyang Liora agar anak itu segera tidur. Kalau dipikir-pikir, aku sedang menjalani pelatihan mengurus anak sejak dini. Tak habis pikir tahun depan aku akan ketambahan adik lagi.

"Babababababababaaaaa"

Baba adalah panggilanku. Sebenarnya kami mengajari Liora untuk memanggilku Bang Deka, tetapi dia lebih sering memanggilku Baba karena belum fasih berbicara.

Liora merentangkan tangannya minta dipeluk. Yasudah, walau kadang menjengkelkan, aku sangat sayang pada adikku itu. Aku memindahkan Liora di pangkuanku. Kami sama-sama menonton Doraemon di TV.

"Baba? Babaaa?"

"Tenang aja, Nobita pemeran utama nggak bakal mati."

"Bababa? Babaaa?"

"Iya, Suneo juga selamat."

Ting. Ada notifikasi pesan WhatsApp di ponselku. Bara memberiku izin tidak mengikuti latihan hari ini. Alasanku masih sama, Bundaku sibuk dan tidak ada yang menjaga Liora. Untunglah dia sohibku yang paling pengertian.

Perhatianku teralihkan pada salah satu aplikasi media sosial. Aku juga pengguna Instagram, hanya saja tidak ada satu foto pun yang kuposting di sana. Aku juga punya Facebook, tapi kugunakan untuk login game online.

Di kolom pencarian ku ketik username seseorang, dia sekolah di sekolah yang sama denganku. Okay, walau sedikit loading tapi akhirnya berhasil. Tanganku bergerak hati-hati membuka satu persatu foto yang dia posting. Dia jarang posting foto, bahkan di Instagram-nya hanya ada 8 foto saja. Terakhir kali dia memposting foto tepat 3 bulan yang lalu.

Ada yang perlu kupertegas, aku tidak jatuh cinta padanya, paham kan apa yang ku maksud? Terus kenapa aku lihat-lihat akun media sosialnya?

"Whattt?! Astaganagabulunagatelurnaganetas! Lio!! Aishhh—Liora!"

Gawat. Adikku menekan tombol like di Instagram gadis itu. Aku ingin marah, tetapi dia masih kecil, tidak tahu apa-apa dan aku akan dilaporkan ke Komite Perlindungan Anak jika melakukan kekerasan pada anak umur 9 bulan ini.

Aku mencoba tenang karena ini hanya media sosial. Lagi pula Instagram-nya tidak di-private. Banyak orang yang mampir untuk melihat isi postingannya. Tetapi masalahnya adalah foto yang di-like adikku itu postingan 3 bulan lalu dan yang paling parahnya lagi dia menggunakan akunku. Aku dan gadis itu tidak pernah berbicara, kenalan saja tidak.

Langkah pertama yang ku ambil adalah unlike. Tetapi aku masih belum bisa tenang. Untuk berjaga-jaga aku mengambil Ipad-ku, login ke akun Instagram adik pertamaku yang bernama Isabella. Dia sudah kelas 1 SMA, tidak heran jika dia juga punya Instagram. Setelah berhasil login aku mencoba me-like foto adikku menggunakan akunku. Astaga! muncul di notifikasi bar. Sekarang aku coba unlike. Ku buka notifikasi Instagramnya, harus refresh dulu baru hilang. Kalau gadis itu memunculkan notifikasi banners pada ponselnya pasti sudah dilihatnya dari tadi. Lucu juga kalau aku tiba-tiba unlike. Gadis itu pasti langsung mikir macam-macam. Mending aku jujur saja. Aku pun mengetik pesan untuknya di messanger. Sent

Maaf, tadi adikku yang megang ponselku. Terus nggak sengaja ngelike foto kamu. Mungkin karena IG kamu muncul paling atas di sugesti pertemanan makanya nggak sengaja ketekan sama adikku. Serius, bukan aku lho. Aku cuma mau ngejelasin apa yang sebenarnya aja. Aku buru-buru ngirim messanger bukan karena sengaja ngasih statetment karena takut dikira nggak mau ngaku ngestalk kamu, sebelum kamu ngetawain aku duluan karena ketahuan ngestalk akun kamu. Kalau kamu nggak percaya nanti aku kirim fotonya tersangka. Maaf ya. Jadi semuanya udah clear, Ok?

Hapussssssssss. Lebih baik tidak meninggalkan jejak. Anggap saja hal ini tidak pernah terjadi. Semoga gadis itu tidak melihat apa yang ku lakukan barusan.

Tapi, kalau dia sudah lihat bagaimana ya? ah sepertinya lebih baik aku mengirim pesan. Sialnya pesan yang aku kirim tadi sudah ku hapus. Terpaksa ketik lagi. Okay, sent.

Kamu kenal aku? Aku temannya Bara. Tadi adikku yang megang ponsel aku, terus nggak sengaja dia ngelike foto kamu. Maafin adik aku ya. Semoga kamu nggak mikir kalau aku yang ngelike foto kamu. Thanks.

Tidak sampai dua menit, pasti dia tidak baca. Lebih baik aku hapus saja, anggap saja tidak terjadi apa pun. Hapusssssss.

Tapi aku tidak tahu apakah dia sudah lihat atau belum. Aku juga jarang pakai Instagram, seharusnya aku lebih up to date tentang media sosial. Kemudian kupikir-pikir lagi, kalau tidak memberi pernyataan pasti dia mikir aku memang sengaja ngestalk dia. Sepertinya mending aku kirim pesan yang pendek saja. Sent.

Selamat sore. Maaf tadi salah pencet. Terima kasih.

Hapussss. Terdengar seperti lagi pidato. Pilihan terbaik memang tidak meninggalkan jejak.

Sekali Merdeka Tetap MerdekaWhere stories live. Discover now