Chapter 20

22.5K 2.7K 204
                                    

DALILA

Pertanyaan yang diberikan Merdeka 'bagaimana'. Aku bingung bagaimana yang dia maksud itu seperti apa? Apakah tentang situasi di sana, makanan di sana, atau tentang interaksiku dan Ibra. Kalau seperti ini aku makin yakin kalau dia naksir padaku.

"Makanannya enak. Tunanya juga nggak kerasa amis, masih seger nggak sama kayak tuna yang udah lama masuk di kulkas. Sushi di sana juga sesuai seleraku," jelasku. Merdeka berdehem pelan. Dia mau bicara sesuatu tetapi ragu-ragu. Aku jadi tidak bisa balik kanan karena dia menatapku dalam diam.

"Mau makan lagi di sana? Tapi kali ini sama aku," ajaknya.

Oh tidakkkkkkkkkkk. Dia ngajak aku jalan?!

Jantungku jadi berdebar kencang. Semoga bukan hanya jantungku saja—kuharap dia juga. Aku jadi bersemangat dan tidak tahan untuk tetap tersenyum. Aku juga bingung harus berkata apa. Ingin bicara tetapi mulutku kaku kebanyakan senyum. Aku mengangguk sebagai jawabannya.

Kami kembali diam. Aku tidak berani menatap wajahnya. Jika aku menatap wajahnya aku jadi ingin buang muka karena malu. Dia juga tidak bilang apa-apa lagi, aku jadi bingung sendiri. Padahal masih ada banyak pertanyaan di kepalaku.

"Kapan?" Akhirnya aku buka suara duluan. Eh tapi kok kesannya aku kayak ngebet gitu? Aku khawatir Merdeka akan berpikir aku tidak sabaran ingin diajak makan olehnya.

"Kamu udah gak sabaran?" goda dia sambil tersenyum miring.

Astaga! benerkannnn! Jengkelin banget! Aku ingin mengumpat tetapi, serius—dia ganteng banget.

"Hah? Enggaklah. Aku mau ngatur jadwal aja, siapa tahu hari itu aku sibuk," bantahku.

"Nanti aku kabarin," kata Merdeka pada akhirnya. Karena tidak ada lagi yang ingin dibahas aku pamit masuk ke kamarku. Dia juga pamit pulang karena sudah malam.

Padahal baru tadi siang minta tolong ke Ibra untuk bantuin aku bikin Merdeka lebih peka. Merdeka terlalu lemot, gerak lambat, aku geregetan sudah sering kasih kode tapi aksinya slow sekali. Yang paling bikin kesal dia tidak mau to the point. Dia selalu ngasih kata-kata yang ngambang, aku inginnya diberi tahu dengan jelas, tanpa tersirat atau pakai kata kiasan yang sulit kupahami. Tetapi akhirnya dia mulai bergerak cepat. Padahal waktu itu kami mau nonton bareng, alhasil gagal. Sebelumnya lagi aku tak yakin apakah itu dihitung sebagai first date, karena ada Bara di antara kami. Padahal beberapa cowok yang nembak aku udah punya banyak upaya, ajak jalan, makan, bahkan berani jemput ke rumah. Tapi tidak ada yang kecantol di hati. Padahal mereka sering lempari banyak gombalan, tapi aku malah tertarik pada yang satu ini.

...

Yang ditunggu-tunggu tiba yaitu bel istirahat berbunyi. Tadi pagi aku terlambat, tidak bertemu dengan Merdeka. Sekarang aku ingin pergi ke kantin, aku sengaja mengajak Ibra makan bareng. Sesuai apa yang Ibra janjikan kemarin. Hanya ingin membuat Merdeka cemburu supaya dia bergerak cepat. Tetapi setelah kutagih janjinya, Ibra malah pengen kabur.

"Kamu tahu sendiri Deka kayak gimana? Nggak tahu kali apa yang bakal terbang ke kepalaku kali ini. Mungkin piring terbang," kata Ibra sambil berpikir keras. Tapi Merdeka tidak sehebat itu untuk melempar kendaraannya alien.

"Cuma datrng sama-sama ke kantin doang," bujukku. Kini aku malahan jadi tambah bersemangat.

Aku sedikit egois karena memaksa Merdeka yang harus bergerak duluan. Ketimbang aku yang mengandalkan orang lain untuk membuat Merdeka sadar. Aku juga ingin jalan dengannya, makan dengannya, karena akhir-akhir ini semakin sering kami bertemu aku jadi bertingkah tidak jelas.

Sekali Merdeka Tetap MerdekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang