Chapter 12

24.6K 2.7K 53
                                    

MERDEKA

"Gue ikut ke rumah lo."

Bara berkacak pinggang. Padahal aku hanya ingin main ke rumahnya saja. Apa salahnya teman yang saling mengunjungi rumah. Aku beralasan malas langsung pulang ke rumah, nanti aku akan disuruh menjaga adik bungsuku, apalagi adikku yang puber itu—Isabella akan curhat karena sudah tiga hari ini tidak mendapatkan surat cintanya. Aku ingin menghirup udara segar di rumah Bara.

"Okay ... silakan," kata Bara, tumben dia tidak banyak tanya lagi.

Setelah latihan basket selesai aku langsung pergi bersama Bara ke rumahnya. Ibunya Bara sudah menyiapkan makan malam. Aku juga diajak oleh mereka bergabung makan malam. Kini aku duduk bersebelahan dengan Bara bersama dengan kedua orangtuanya di meja makan.

"Sudah kabari orangtua kamu, Deka? Takutnya malah ditungguin di rumah," tanya ibunya Bara.

"Sudah tante. Aku bilang ke Bunda kalau diajak makan di sini." Bunda dan ibunya Bara tidak pernah bertemu. Tetapi sepertinya mereka saling mengenal lewat cerita kami. Orangtuaku suka bertanya tentang circle pertemananku, aku main sama siapa saja, aku pergi ke rumahnya siapa, orangtuanya Bara kerja apa, tinggal di mana. Bahkan orangtuaku punya nomor ponselnya Bara. Aku bisa memaklumi hal itu, namanya juga orangtua, mereka pasti khawatir anaknya nyasar ke tempat yang tidak benar.

"Bang Dino nggak pulang tahun baru ini, Om?" Bang Dino itu kakaknya Bara. Dia seorang tentara Angkatan Laut, sama seperti orangtuanya. Tetapi Bang Dino dinas di Jayapura. Liburan akhir tahun kemarin dia tidak cuti, setelah tahun baru juga tidak kelihatan. Padahal biasanya dia akan mengunjungi orangtuanya.

"Nanggung katanya. Bentar lagi mau mutasi ke sini," jelas ayahnya Bara.

"Berarti satu kantor sama Om dan Tante?" tanyaku.

"Iya dong, tapi beda satuan kerja," jawab ayahnya Bara.

Tidak hanya ayahnya Bara, ibunya Bara juga seorang tentara Angkatan Laut yang biasa disebut Kowal. Darah tentara mereka mengalir kental ke anak sulungnya. Sedangkan ke anak bungsu mereka—Bara, aku ragu. Bara terlalu selengean untuk menjadi seorang tentara. Tidak tahu nanti jika pikirannya sudah terbuka.

Tiba-tiba ibunya Bara bangkit berdiri dari kursi kemudian mengambil sesuatu dari dalam kulkas. Ku lihat ada banyak cokelat batangan yang dibawanya.

"Nih buat Merdeka, tante habis dikirimin sama teman kantor." Aku menerima dengan senang hati. Masih ada beberapa cokelat yang sengaja dimasukan ke dalam plastik. "Bara, yang ini buat Dalila. Nanti panggil aja suruh dateng ke sini sekalian mau Mama bungkusin klapetart," lanjutnya berkata kepada Bara.

Mendengar nama Dalila, aku jadi bertanya-tanya apakah gadis itu akan ikut naik ke lantai dua—masuk ke kamarnya Bara. Atau Dalila hanya mampir ke dapur untuk menemui ibunya Bara. Sampai perutku terisi penuh dengan masakan yang lezat, Bara tak kunjung menghubungi Dalila—padahal ibunya sudah menyuruhnya.

Bara berdiri duluan dari duduknya. "Cus, naik ke atas," ajaknya yang kujawab anggukan. Sebelum naik ke atas, aku pamit pada orangtuanya untuk mendahului mereka yang masih mengobrol masalah kerjaan di meja makan. Tapi, mungkin saja Bara lupa, jadi aku membawa bungkusan cokelat untuk Dalila ke kamar Bara supaya gadis itu harus bersusah-susah menaiki anak tangga sebelum menikmati makanan enak.

...

Karena datang tanpa rencana, ujung-ujungnya aku datang untuk bermain game online dengan Bara. Walaupun aku tidak terlalu sering terlihat main game di kelas, sebenarnya aku sering bermain di rumah.

Sekali Merdeka Tetap Merdekaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن