Chapter 14

24.6K 2.8K 111
                                    

DALILA

Istilahnya baru saja mengupas kulit kacang. Sedikit demi sedikit aku bisa membaca sifat asli Merdeka. Apalagi setelah beberapa hari lalu dia bercanda pada teman-temannya kalau aku dan dia pacaran. Sungguh! Aku seperti habis diombang ambing, pusing menghadapi mereka semua. Untung saja pria itu mengkonfirmasi kalau dia hanya bercanda. Lucu sih setelah melihat anak-anak tim basket kecewa. Tetapi gaya bercandanya Merdeka itu sangat tidak layak disebut bercanda. Bagaimana tidak? wajahnya terlihat sangat serius. Kupikir dia sungguh-sungguh. Aku akan menyarankannya untuk belajar bercanda lebih baik lagi.

"Mau nongkrong di lapangan basket?" tanya Farah.

"Khusus hari ini nggak. Aku mau langsung pulang aja," kataku.

Sudah beberapa hari ini aku tidak pergi melihat tim basket latihan. Alasannya? Aku menghindari Merdeka. Sampai saat ini aku tidak bisa melupakan tatapannya. Apalagi saat dia berkata, "iya." Aku pernah melihat orang yang menyatakan perasaan. Tatapannya sama seperti yang Merdeka lakukan. Gara-gara itu aku tidak berani menatap wajahnya, tidak tahu harus bicara apa padanya, dan bertingkah seperti apa saat bersamanya.

Kuputuskan untuk pulang bersama-sama dengan Michiko. Michiko akan menghampiriku di kelas. Kami memang beda kelas, tetapi sangat akrab. Tak lama setelah Farah pamit pulang ke rumahnya duluan karena ada les, Michiko menghampiriku.

"Ayo singgah bentar nontonin tim basket latihan." Rupanya Michiko ingin melihat Bara.

"Nggak mau," tolakku cepat. Aku pun memberikan banyak alasan padanya. Setelah banyak pertanyaan pula yang dilontarkannya akhirnya Michiko mengalah. Gadis itu tidak tahu apa yang terjadi padaku di sana. Dia juga tidak tahu kalau aku ada 'ekhem' dengan Merdeka. Pokoknya anak-anak tim basket serta coach Eli bukan tipe yang suka berkoar-koar di luar lapangan basket sehingga apa yang terjadi di lapangan basket, tidak akan bocor ke luar.

Kami berjalan ke luar kelas. Michiko memintaku untuk berjalan melewati lapangan basket. Tidak masalah, toh hanya melihat dari lantai dua. Kuturuti saja.

"Bara! Bara!" Michiko histeris di tempat. Untung saja dia tidak meneriaki nama pria itu kuat-kuat. Aku mengikuti arah pandang Michiko. Tapi meleset. Mataku malah tertuju pada Merdeka.

Astagaaaaaaaaaaaaa. Merdeka yang manis itu berubah cool. Dari awal aku tidak pernah memasukkan Merdeka ke kategori bad boy sekolah. Aku menilai dia sebagai anak manis, pendiam, tetapi suka olahraga. Tidak nakal, tidak terlalu soft boy, semuanya normal-normal saja. Tetapi hari ini di lapangan basket, di saat Merdeka hanya mengenakan kaos tanpa lengan. Lengannya tidak terlalu berotot seperti trainer di gym, tidak juga terlalu kurus, tapi terlihat kuat.

"Shoot," gumamku begitu Merdeka mendapatkan three point.

Kuakui Merdeka keren. Aku bangga jika cowok model Mereka beneran suka padaku. Tapi kenapa dia bisa suka padaku? Padahal aku tidak begitu cantik, tidak juga menonjol. Cantik itu biasa, semua perempuan memang cantik. Kelebihanku hanya karena wajahku yang kata orang manis-manis susah dilupakan. Tapi aku tetap akan kurang pede kalau disandingkan di sebelah divanya sekolah. Seperti timbangan yang berat sebelah. Aku ini hanya satu di antara semua gadis di golongan rata-rata. Jadi apa istimewanya dariku? Dan kenapa pula saat ini Merdeka melihat ke arahku?

...

MERDEKA

Hari ini gadis itu juga tidak datang. Dia hanya sekilas melihat ke lapangan basket dari koridor lantai dua. Sudah, itu saja. Setelah aku sedikit bereksperimen untuk bercanda, itupun aku belajar dari Google. Kata kuncinya 'Cara bercanda yang lucu agar terlihat keren yang perempuan sukai'. Tetapi setelah itu dia tidak pernah menunjukkan dirinya lagi di hadapanku. Jika bertemu dia seperti menghindariku. Aku khawatir kalau aku telah salah bicara.

Sekali Merdeka Tetap MerdekaWhere stories live. Discover now