Chapter 30

22.2K 2.6K 138
                                    

MERDEKA

Aku semakin sering mengunjungi rumah Dalila. Bukan lagi ke rumahnya Bara yang selama ini kujadikan alasan. Sudah berapa kali ya ... hampir 7 kali. Kami rutin belajar, bukan lagi bermain-main. Setelah ku amati Dalila lumayan pintar, dia paham garis besar tiap materi walau tidak sejenius Pakde Einstein. Intinya kami lebih sering membahas soal latihan yang kemungkinan akan keluar. Bukan hanya aku saja yang belajar dengan Dalila, Bara selalu ikut—aku tidak berhasil mengusirnya.

Kami bertiga bukan ambisius, itu memang sudah kewajiban kami, yaitu belajar. Ku amati banyak yang belajar H-1 ujian. Tidak sedikit, tetapi banyak. Sebenarnya sama saja, mau H-1 atau jauh-jauh hari soal dan materi yang kami pelajari tetap itu-itu saja. Hanya saja waktu yang kami gunakan lebih banyak, tidak tergesa-gesa, tidak perlu belajar sampai larut yang ujung-ujungnya pas mengisi kertas ujian malah ngantuk. Namun kendala terbesarnya adalah karena kami belajar sama-sama, kemungkinan bermain lebih besar ketimbang belajarnya. Maka dari itu aku berusaha mengerem keinginanku untuk bermain game atau berbincang-bincang hingga delapan topik yang tidak kunjung kelar-kelar. Keuntungannya? Yang tidak ku pahami bisa kutanyakan pada mereka, begitu juga sebaliknya. Dan keuntungan utamanya gadis itu selangkah lebih dekat denganku. Dia memanfaatkan beberapa hari belajar bersama ini untuk mendekatiku. Padahal aku ingin bilang padanya, "nggak perlu banyak berusaha, dari awal kamu udah berhasil kok."

Tapi nanti dia berhenti mendekatiku. Hiburanku akhir-akhir ini hanya gadis itu yang sengaja mengerjaiku, entah dengan berbagai cara yang dia pikirkan. Sungguh, aku berusaha untuk tidak tersenyum lebar saat tiba-tiba dia bilang aku tampan, sengaja menyembunyikan jaketnya agar aku meminjamkan jaket untuknya, dia memperlakukanku lebih baik dari pada memperlakukan Bara, dan yep jelas aku ingin terus seperti ini. Seberapa keras usahaku agar terlihat cool, tetap saja sesekali pasti kebablasan. Pernah sekali aku tidak tahan sampai tertawa keras. Dan semenjak itu aku semakin dekat dengan Dalila—entah itu di rumahnya atau di sekolah.

"Aku tahu kamu lagi mikirin apa" Dalila membuyarkan lamunanku. Aku tidak sadar tiba-tiba gadis itu sudah berada di dalam kelasku. Biasanya juga aku yang menghampirinya.

"Apa?" tanyaku. Gadis itu menunjuk dirinya.

Langsung saja ku sentil dahi gadis itu. Satu persatu teman sekelasku sudah menghilang, ku manfaat kesempatan ini untuk kabur ke kantin duluan. Dari belakang aku dapat mendengar suara gadis itu yang mengomel tidak jelas.

Tersisa satu meja bundar yang ada di pojokan, meja memanjang sudah penuh. Sebelum meja itu diambil orang, aku segera mengambil tempat duluan. Kemudian diikuti Dalila yang datang setelah memesan makanan kami. Aku menepuk kursi kosong di sebelahku, menyuruh gadis itu duduk. Bara tidak sekolah, katanya lagi demam karena kebanyakan belajar. Bagus deh, sekali-kali aku memang harus dilepas sendirian.

"Pas banget, masih ada lima kursi kosong," kata Dalila.

"Kenapa?" tanyaku bingung.

Dalila menunjuk satu persatu kursi yang masing kosong sambil berkata, "Anwar, Ikram, Fais, Jaya, dan Yusak duduk di sini."

Aku terkekeh geli. "Jadi inget konfrensi meja bundar," kataku. Kalau diadakan disini, tujuannya untuk mengakhiri perselisihan antara aku dan kelima orang itu dengan cara diplomasi. Hasil akhirnya sudah terbaca.

"Nanti malam mau belajar sama-sama lagi?" tanyaku. Kenapa gadis itu malah menatapku penuh selidik. Padahal aku hanya mengajaknya belajar, sama seperti sebelumnya.

Ah, dia pasti mikir yang nggak-nggak lagi.

"Aku curiga kamu juga naksir Bi Nunung. Aku tahu Bi Nunung memang janda menggoda, montok, cekatan, dan lebih berpengalaman dari aku. Tapi kalau dari awal kamu udah pilih aku ya jangan berubah dong," omel Dalila.

Sekali Merdeka Tetap MerdekaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora