Chapter 23

21K 2.7K 219
                                    

DALILA

Ting! Langkahku terhenti di koridor sekolah begitu ada WhatsApp masuk di ponselku. Di layar ponselku ada nama 'Sekali Merdeka Tetap Merdeka'.

Tadi aku mau bilang kalau setelah pulang sekolah aku free, kalau kamu juga free aku mau minta kamu temenin ke restoran Jepang yang waktu itu kita bahas.

Yaampunn! Mau ngajak jalan saja kata-katanya ribet—muter-muter dulu. Padahal tinggal bilang, "pulang sekolah makan di sana yuk." Tak perlu pakai alasan minta ditemani ke sana. Hadehhhh.

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala, Merdeka lumayan lucu. Orangnya juga sedikit kaku. Aku suka gemes dengar dia coba ngelucu, gombalannya juga tidak berlebihan tapi berhasil bikin aku melted, apalagi isi chat-nya yang tidak mau to the point itu. Mulai sekarang hingga jam pulang sekolah sepertinya aku bakal senyum-senyum sendiri di dalam kelas.

Brukkk.

Karena fokusku ke ponsel, aku tidak sadar ada orang di depanku. Aku menabrak dia karena dia tiba-tiba muncul dari balik pintu ruangan ekskul tenis. Beberapa lembar kertas dan amplop berserakan—entah yang mana punyaku dan punya Gunan.

"Maaf nggak sengaja," kataku merasa bersalah.

"Nggak apa-apa. Nggak sampe terpental juga kok," candanya. Dia salah satu anggota OSIS sekolah ini. Kalau tidak salah dia sekelas dengan Merdeka dan Bara. Name tag-nya tertulis, Guinandra. Namanya memang Guinandra, tapi biasa dipanggil Gunan. Aku hafal wajahnya karena dulu dia mencalonkan diri menjadi ketua OSIS tetapi kalah voting.

Di saat aku dan Gunan memungut barang kami yang berserakan, suara seseorang tiba-tiba muncul dari ruangan yang sama dari tempat Gunan muncul tadi.

"Lho? Ternyata kakak ipar." Isabella ikut membantu kami. "Bang Gunan, kalau abangku yang mergokin Bang Gunan nabrak kakak ipar—hmm ... dia bakal bilang 'lain kali hati-hati'," kata Isabella meniru suara Merdeka.

Gunan terkekeh pelan menerima jokes yang nyatanya sudah tersebar di kalangan tertentu sekolah ini.

"Apa nih? undangan rapat orangtua?" tanyaku saat membaca amplop milik Gunan. Dia mengangguk. Rapat orangtua setahun sekali. Tahun lalu orangtuaku sibuk dan tidak balik ke Indonesia, jadi Bi Nunung yang menggantikan mereka. Biasanya isi rapat membahas tentang kemajuan pembelajaran di sekolah, persiapan pengayaan dan ujian untuk siswa tingkat akhir, serta kegiatan sosial dari sekolah.

"Rapatnya minggu depan," kata Gunan.

"Boleh diwakilin nggak? Orangtuaku masih di Canberra" tanyaku cemas. Pasalnya ini rapat terakhir menjelang kelulusan. Siapa tahu ada sesuatu yang penting yang mungkin saja wajib dihadiri orangtua.

Gunan melirik ke arah Isabella sekilas. "Dia adik ipar kamu kan? sekalian aja minta orangtuanya Deka—"

"Gunannn," desisku malu karena ada adik kandung Merdeka.

Aku segera menyerahkan beberapa amplop undangan miliknya. Isabella juga menyerahkan beberapa amplop milik Gunan ke pria itu. Sementara kertas-kertas milikku sudah kumasukkan ke dalam map.

"Nggak masalah diwakilin, yang penting hadir," katanya kemudian pamit dan berlalu pergi.

Tiba-tiba mataku menangkap satu amplop yang tergeletak jatuh dekat pot bunga. Aku mengecek kembali isi mapku dan melirik Gunan yang sudah berlalu pergi. Ku ambil amplop itu, di bagian depan amplop ditujukan untuk seseorang yang ku kenal.

"Ternyata buat kamu," kataku memberikan surat itu untuk Isabella.

Isabella menerima amplop berwarna biru itu dengan gerakan cepat. Wajahnya terlihat sangat bahagia. Kalau aku yang diberikan surat cinta bakal kuterima dengan raut muka geli. Bukannya aku tidak menghargaki orang yang mengirim surat cinta untukku, tetapi aku tidak begitu suka gaya romantis seperti itu. Semoga Merdeka tidak memberikan surat cinta untukku.

Sekali Merdeka Tetap MerdekaWhere stories live. Discover now