Chapter 10

26.7K 2.9K 80
                                    

DALILA

"Kamu sengaja ngerjain aku?!"

Aku melemparkan banyak tuduhan pada Merdeka. Merdeka sengaja mengerjaiku dengan cara menyala-matikan lampu seperti yang terjadi pada film-film hantu. Kemudian aku akan lari terbirit-tirbirit. Semua tuduhanku terbantahkan dengan sebuah lampu LED yang dipegangnya.

"Sini, bantuin Bapak masang lampu," kata Pak Pardi yang ternyata juga berada di sini.

Merdeka dan aku memegang tangga yang Pak Pardi naiki. Kini aku mengerti, Merdeka hanya mencoba mengecek apakah lampu yang di dalam rungan juga rusak atau tidak. Aku terlanjur nge-judge duluan, akhirnya aku yang malu. Pelajaran lagi untukku, jangan asal menuduh. Sebenarnya hal sepele, apa lagi di antara teman-teman sekolah yang seperti ini memang hanya sekedar candaan. Tetapi tidak semua orang bisa menanggapinya dengan positif. Ada yang mudah tersinggung, ada yang bersikap bodoh amat, ada pula yang makin tertarik ngelanjutin candaan tadi. Kembali lagi ke orangnya menanggapi hal itu, untung saja dia adalah Merdeka yang tidak mengambil pusing hal ini.

"Maaf, aku kira kamu lagi ngejahili aku," kataku malu-malu.

Merdeka melirikku sebentar. "Nggak apa-apa," jawabnya yang kemudian kembali melihat ke arah Pak Pardi.

Setelah lampu terpasang maka selesai sudah tugasku dan juga tugas Merdeka. Kami dikembalikan ke kelas masing-masing oleh Pak Pardi lebih cepat. Meskipun Pak Pardi bukan guru bimbingan konseling—dikarenakan posisi guru bimbingan konseling kosong maka Pak Pardi diberi mandat menjaga gerbang sekolah sekaligus menangani murid-murid yang terlambat hingga posisi ini di isi.

Setibanya di kelas, Farah bertanya padaku. "Kali ini ngapain?"

"Bersihin gudang," jawabku lesu.

"Wahhh." Farah memberikan dua jempolnya padaku.

Kami belajar bahasa Inggris. Aku pintar matematika, tapi payah Bahasa Inggris. Padahal anak-anak artis jaman sekarang komunikasi sama orangtuanya pakai Bahasa Inggris seperti ngunyah permen cap cip cup dengan mudah. Terkadang aku malu sendiri kalau menonton video mereka di YouTube, aku sering cengo sendiri mendengar bocah-bocah itu berbicara fasih seperti berkumur-kumur obat mulut.

'Yes, no, of course, I don't know' aku tahu itu semua. Bahasa Inggris dasar aku bisa, bahkan Bi Nunung sesekali berbicara menggunakan Bahasa Inggris dengan orangtuaku yang bekerja di luar negeri. Tetapi mengaplikasikan Bahasa Inggris yang benar itu menurutku susah. Aku belepotan jika harus berbicara sesuai dengan grammar yang ada. Kadang mikirnya itu lama.

Aku larut dalam materi hari ini tentang expression of blaming and accusing. Sudah satu setengah jam aku di kelas, akhirnya Maam Grace memberikan tugas yang harus dikerjakan di rumah. Aku akan meminta tolong Bara membantuku mengerjakan tugas ini.

...

MERDEKA

Setelah selesai berbicara telepon dengan Bunda, aku mengakhiri panggilan telepon itu dengan menekan tombol berwarna merah.

"Disuruh pulang cepat?" tebak Bara yang dari tadi mendengar obrolanku di telepon.

"Iya, disuruh jagain Liora," jelasku kemudian kembali melanjutkan kegiatan makan di kantin.

Bara mengangguk paham. "Nanti nggak usah latihan aja. Biar gue yang bilangin ke coach Eli," katanya.

Pertandingan semakin dekat. Aku juga tidak enak jika terus-terusan minta izin. Namanya juga pertandingan basket, kerja tim itu sangat diperlukan. Kami perlu menjaga kekompakan. Apalagi aku yang paling jarang ikut latihan, aku perlu meningkatkan skill ku. Walau cita-citaku bukanlah menjadi atlet basket professional, tetapi karena aku memilih bergabung bersama tim basket aku harus bertanggung jawab sebagai bagian dari mereka.

Sekali Merdeka Tetap MerdekaWhere stories live. Discover now