Chapter 3

33.2K 3.3K 85
                                    

DALILA

Saking kaget plus rasa malu yang bukan main itu, aku melempar bola itu kencang ke perutnya. Merdeka menangkap bola itu dengan sempurna. Aku langsung balik kanan, duduk diam di samping coach Eli yang menahan tawanya. Bahkan semua anak-anak yang ada di sana sudah tertawa terbahak-bahak. Sore ini aku menjadi bahan olokan mereka.

"Jangan diambil hati, Deka memang begitu," coach Eli berusaha memperbaiki mood-ku yang terlanjur jatuh ke permukaan tanah. Tetapi aku berpura-pura agar terlihat baik-baik saja. Kalau aku bertingkah sedih atau marah-marah tidak jelas pasti mereka akan mengatakan yang tidak-tidak tentangku.

Selama sisa waktu sore itu aku hanya duduk diam menatap para tim basket hingga mereka sudah mandi keringat. Mataku menatap tajam tepat pada pria itu—yang membuatku jadi bahan olokan. Mau lihat dia ngos-ngosan, mandi keringat dua ratus ember, atau pingsan sekalipun bodo amat. Aku masih kesal padanya. Dia satu-satunya orang yang tidak punya hati. Walau aku salah mengartikan uluran tangannya itu setidaknya dia harus pura-pura mengerti, bahkan tadi aku sudah menggenggam tangannya erat. Sedangkan dia? jelas sekali dari tangannya yang lemah itu.

"Coach aku pulang dulu ya, kalau ada latihan nanti aku dateng lagi," pamitku. Aku tidak tahu mereka latihan hingga menjelang maghrib. Anak rumahan sepertiku biasanya sudah dari tadi berada di rumah.

"Nggak mau ngobrol dulu sama Deka?" canda coach Eli.

"No thanks."

...

MERDEKA

"Yah dia pergi."

Aku menengok kaget ke sumber suara, kemudian kembali melihat gadis itu yang berlalu pergi. Bara cengingisan menatapku yang masih memasang wajah datar. Dia tahu saja kalau dari tadi menatap Dalila.

"Jangan merasa bersalah gitu dong. Kalau mau minta maaf nanti gue bantuin," kata Bara. Aku tahu Bara dan Dalila berteman, tetapi aku tidak ada niat untuk meminta maaf. Tadi kan bukan salahku.

Aku pun melanjutkan latihan. Mengabaikan Bara yang masih senang menggangguku.

"Dasar batu," dengkus Bara begitu kutinggalkan.

Sebenarnya aku tidak sengaja melepas bola dari genggamanku. Kemudian bola itu menggelinding ke arah gadis itu. Aku tidak ingin mengambil bola itu langsung dari tangannya, tetapi karena aku yang menjatuhkan bola tersebut mau tak mau akulah yang harus mengambil bola itu. Aku masih malu perihal adikku—Liora yang menekan tombol like di Instagram. Auto ketahuan nge-stalk dong. Aku sampai merinding disko saking malunya. Setelah itu aku tambah menghindari kontak dengan Dalila, tetapi semakin kuhindari semakin banyak kesempatan kita bertemu.

"Semuanya kumpul," perintah coach Eli.

Bara memimpin pendingan. Aku meniru gerakan pria itu. Akhir-akhir ini aku memang tidak rutin bergabung latihan. Tapi syukurlah aku masih bisa mengikuti ritme permainan. Untuk pertandingan persahabatan nanti coach memintaku turun ke lapangan, aku menyanggupi permintaannya. Lagi pula waktuku bermain di lapangan tidak banyak lagi. Aku sudah kelas 12 yang akan segera lulus. Di semester depan akan disibukkan dengan pengayaan dan persiapan ujian nasional.

"Jahat banget lo Deka, Dalila malu banget tuh," kata Kevin di sela-sela pendinginan. Bara yang mendengar percakapan kami pun langsung ikut nimbrung.

"Kalau lo teman dekatnya, gue yakin muka lo sudah ditonjok sama dia," kata Bara menakut-nakutiku.

Aku menanggapi perkataan mereka dengan cengengesan. Coach Eli juga ikut nimbrung. Kata coach Eli gadis itu berkata ogah untuk mengobrol denganku. Sepertinya dia marah sekali. Aku jadi takut bertemu dengannya besok.

Sekali Merdeka Tetap MerdekaWhere stories live. Discover now