Chapter 28

20.3K 2.6K 237
                                    

MERDEKA

Menggunakan kekerasan memang salah, tapi apa salahnya jika digunakan sesekali. Itupun ku gunakan di saat yang tepat. Aku tidak bisa diam saja melihat adikku dipalak oleh preman sekolah. Sudah beberapa kali mereka dilaporkan ke pihak sekolah, tetapi hukuman yang diberikan pihak sekolah tidak membuat mereka jerah. Masalah yang dibuat mereka bermacam-macam, merokok di wilayah sekolah, menindas siswa yang dianggap culun, memalak uang sesama siswa. Mereka sering nongkrong di sekolah hingga jam pulang kegiatan ekstrakurikuler. Makanya adik pertamaku yang baru pulang latihan tenis itu bisa bertemu dengan tiga orang ini.

"Dapet berapa hari ini?" tanyaku. Aku merebut paksa uang yang ada di saku mereka. Ku hitung satu persatu. Mungkin karena uang haram, uang-uangnya lecek semua.

"Seratus, seratus dua puluh, seratus empat puluh, seratus empat puluh lima, seratuh lima puluh, seratus lima puluh dua," hitungku. Semuanya total seratus lima puluh dua. Aku merapikan uang-uang tersebut.

"Lo semua dapet berapa dari adek gue?" tanyaku penuh penekanan. Sepertinya aku terlihat menakutkan. Mereka semua seperti sangat tunduk padaku. Orang-orang bisa salah mengartikan aku sebagai big boss mereka.

"Seratus ribu Bang," kata salah satu dari mereka. Sisi wajah kanannya merah, berarti tadi aku menonjok pria itu terlalu keras. Sepertinya ini yang namanya kelebihan menyimpan tenaga bertahun-tahun.

Aku menatap Isabella yang sudah tidak menangis lagi. "Kenapa cuma kamu kasih seratus ribu doang?" tanyaku. Aku tahu uang adikku ada banyak.

"Udah aku pakai beli skincare," katanya. Pantas saja wajahnya jadi sedikit glowing. Aku tidak akan melarangnya menghabiskan uang untuk beli skincare, toh itu akan bermanfaat untuk suaminya kelak. Kalau pacarku menghambur-hamburkan uangnya untuk beli skincare juga tidak akan ku larang, bila perlu akan ku bantu belikan beberapa lagi. Dulu aku tidak mengerti apa manfaatnya, tetapi setelah tidak sengaja memecahkan botol serum milik Isabella dan mendapatkan kuliah singkat darinya akupun langsung mengerti.

Aku mengembalikan uang yang ku pegang itu pada mereka bertiga. Aku menyuruh mereka memegang uang itu di atas kepala. "Senyum," perintahku. Cekrek. Ku foto sebagai barang bukti.

Aku mengambil satu lembar seratus ribu tadi dan memberikannya pada Isabella. Ada seseorang yang dari tadi diam saja di samping Isabella. Tadi dia sempat melihatku memukul orang-orang ini. Aku penasaran apa pendapat Dalila. Aku tidak berakting agar terlihat keren, aku takut dia berpikir kalau aku ini ternyata suka main tangan dan sesuatu yang buruk lainnya.

"Ah ... tadi kamu lihat ya." Aku jadi bingung mau berbicara apa lagi pada gadis itu. Dalila hanya diam menatapku. Isabella yang ada di sini tidak membantu sama sekali. Dia hanya sibuk meluruskan uangnya yang lecek itu.

"Sebenarnya aku nggak suka mukul orang, tapi karena tadi lihat Isab—" omonganku terpotong.

"Tadi kalau kamu butuh bantuan, aku udah siap ikut adu jotos."

Ternyata kami sependapat. Syukurlah dia mendukungku. Kami sama-sama melapor ke Pak Pardi. Tiga orang yang bermasalah tadi juga ikut. Aku menyerahkan mereka pada Pak Pardi yang rupanya sudah kenal baik dengan tiga orang itu. Kata Pak Pardi saking seringnya buat masalah, Pak Pardi sampai menghafal nama mereka, tas mereka, sampai model sepatu mereka juga.

"Kalian nggak ada kapok-kapok," omel Pak Pardi. "Kalian pikir gelar preman sekolah itu keren, baju nggak dimasukin, rambut kayak perempuan aja panjang gini, ini lagi ... wajah bonyok habis tawuran lagi? sama sekolah mana?" lanjutnya mengomel.

Sekali Merdeka Tetap MerdekaWhere stories live. Discover now