Chapter 21

22.2K 2.6K 143
                                    

DALILA

Fokus! Dalila Fokus!!

Merdeka memang tampan, kalau kata orang waras tatapannya itu mengalihkan dunia. Tiba-tiba suaranya jadi soft, buat aku dag dig dug. Aku jadi ingat ketika dia bilang, "kamu nggak suka sama aku?" pertanyaan macam apa itu? tentu saja aku suka padanya.

Aku lebih memilih orang yang tidak begitu popular, tidak terlalu menonjol, tidak begitu dekat dengan banyak perempuan, tidak perlu peringkat satu, tidak harus jadi ketua OSIS ataupun kapten tim basket. Aku lebih menyukai si pendiam Merdeka, tidak selalu menebar senyum pada semua wanita, cukup sesekali bercanda padaku, melihat ke arahku, tersenyum miring padaku.

Wahh ... fix aku jatuh cinta padanya.

"Kamu kenapa?" tanya Okta. Aku segera menggeleng padanya. Kami sedang berkumpul di ruang ekskul untuk membahas perampungan buletin. Semalam punyaku tidak kelar, semuanya gara-gara Merdeka. Pokoknya ini semua salah dia. Kalau dia tahu aku menyalahkannya kira-kira dia bakal berkata apa, ya? Mungkin seperti ini.

"Aku serba salah."

Atau seperti ini, "salah apa aku?"

Aku menunjukkan susunan beritaku yang tinggal sedikit lagi. Isinya mulai dari prestasi terakhir mereka di liga hingga latihan menjelang pertandingan persahabatan. Sengaja isi bahasan paling banyak tentang pertandingan persahabatan, karena lawan mereka adalah runner up di liga tahun lalu. Headline-nya yaitu pertemuan kembali.

"Kak Dalila, aku punya hadiah," kata Rusli. Dia memberikanku sebuah foto yang sudah dicetak. Foto yang diambil saat tim basket latihan, saat itu Rusli ikut denganku untuk mengabadikan momen. Aku tidak sadar kapan dia memotretku. Orang-orang yang melihat foto ini akan salah paham, pasti mereka pikir aku menolak Merdeka mentah-mentah. Di foto itu wajahku terlihat sirik saat Merdeka menjulurkan tangannya padaku untuk mengambil bola. Saat itu kalau tidak salah aku berkata, "apa nih? minta salaman atau minta bola?"

"Thanks, Rusli." Kuselipkan foto itu ke dalam buku catatanku.

Pagi tadi aku datang terlambat, padahal niatnya revolusi mental. Tidak ada kata terlambat. Sehingga aku harus sapu-sapu halaman dulu setelah itu baru diperbolehkan masuk kelas. Setelah naik tangga aku tidak bisa melihat ke kelas pria itu—Merdeka, pintunya ditutup, mau mengintip ke jendela tiba-tiba ketemu guru yang mengajar di kelasku. Jam istirahat aku tidak ke kantin, begitu bel berbunyi aku langsung ke sini. Soal makan? Rusli yang paling bungsulah yang pergi membeli makanan ditemani Farah. Kami hanya menitipkan uang pada mereka. Setelah tadi malam, aku tidak bertemu dengan Merdeka lagi.

"Bara apa kabarnya?" tanya Michiko.

"Hhm ... masih bernapas." Terakhir kali melihatnya dia memang masih hidup.

"Merdeka apa kabarnya?" tanya Michiko lagi. Foto yang kusimpan tiba-tiba sudah berada di tangan Michiko. Padahal aku berusaha menjauhkan segala informasi tentangku dan Merdeka jauh-jauh dari Michiko, gadis itu sebelas duabelas dengan Bara.

"Kembaliin," ucapku tenang. Michiko langsung menurut. Dia terintimidasi oleh nada suaraku yang sepertinya terdengar suram.

"Kamu suka sama Merdeka? Kok nggak bilang-bilang sih? Kalau kamu bilang pasti aku bantuin," kata Michiko.

Kisah cintanya saja mengenaskan, boro-boro bantuin aku. Aku tak ingin yang lain mendengar hal ini. Aku memberi kode pada Michiko untuk mendekat kemudian berbisik padanya, "aku nggak suka sama dia. Dia duluan yang suka sama aku. Kalau dia suka sama aku, nanti aku juga suka sama dia."

Aku tidak mau dia mengira kalau aku jatuh hati duluan pada Merdeka. Kulihat wajah Michiko sedikit aneh. Dia terlihat bingung dengan penjelasanku.

"Ribet banget. Bilang aja kalau kamu suka sama dia. Beres," keluh Michiko yang berlalu pergi.

Sekali Merdeka Tetap MerdekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang