Chapter 18

23.4K 2.7K 132
                                    

DALILA

Aku berjalan supercepat agar tidak ketinggalan dari teman-temanku. Pagi ini jam olahraga. Aku sangat bersemangat karena tidak perlu mengeluarkan catatan. Kakiku berhenti di depan kelasnya Bara. Ku lihat sudah ada guru yang mengajar. Sengaja aku berlama-lama berjalan melewati depan kelasnya karena penasaran apakah Merdeka masuk kelas hari ini atau izin. Kemarin hasil tes kesehatannya tidak ada yang fatal, hanya memar bagian luar saja.

Oh. Dia melihatku.

Buru-buru aku segera kabur agar nanti Merdeka tidak berpikir aku sengaja ingin melihatnya. Gengsiku lumayan besar jika bersangkutan dengannya.

Setibanya di lapangan aku segera bergabung dengan yang lain. Kami bermain voli. Kalau tentang voli, minta ampuuuuun—aku tidak bisa bermain voli sama sekali. Berkali-kali berlatih service pun tidak terpukul sempurna. Tetapi mau bagaimana lagi, aku jadi anak bawang di antara teman-temanku. Kata mereka kalau ada bola yang datang coba hadapi dulu.

"Dalila ambil!" Aku bersiap-siap karena bola itu memang mengarah padaku. Kedua ujung tanganku ku dekatkan membentuk telapak tangan yang dikepal. Aku sedikit mundur untuk menerima bola itu. Berhasil. Bola voli itu kembali melewati net ke arah lawan. Tapi lengan atasku sakit karena bola tadi tidak mengenai telapak tangan dengan baik—yang jelas meleset, tetapi berhasil ku kembalikan dengan sukses.

Kalau main voli yang ku takutkan adalah smash. Aku takut bolanya akan melayang ke kepala. Apalagi kami semua amatiran. Tidak hanya aku yang akan teriak jika ada bola datang, yang lain juga sama denganku. Aku segera melindungi kepalaku begitu tim lawan melakukan smash.

Brukkk!!

Pagi ini aku dikutuk. Yang ku lindungi kepala bagian depan, tetapi yang kena malah sisi kanan kepalaku. Pandangan mataku sedikit buram karena kemasukan abu. Kepalaku juga puyeng. Bola itu mengenai kepalaku dengan sangat keras.

"Dendam apa sih sama aku?!" Aku menahan bola kaki yang mengenai kepalaku tadi. Ibra berkali-kali meminta maaf padaku. Salah sendiri sudah tau anak-anak perempuan lagi pakai lapangan voli, mereka—anak laki-laki main bola tidak pakai jarak. Padahal sisi sebelah sana sangat luas. Ibra tidak akan begitu saja kumaafkan. Mataku perih, nyut-nyutan di kepalaku juga belum pulih betul. Aku mengabaikan dia dan memilih untuk mengucek-ngucek mataku.

"Dalila, maaf." Ibra masih berusaha membujukku. Aku masih mengabaikan dia.

Pria itu membantuku berdiri, aku berhenti bermain karena mataku masih kemasukan debu. Kami duduk di pinggir lapangan.

"Kepala kamu yang kena bola tapi kenapa mata kamu yang perih?" tanya Ibra membuatku tambah kesal padanya.

"Memang kepala aku yang kena, tapi pas jatuh wajahku duluan yang mendarat di tanah," aku berbicara dengan mata terpejam.

"Sini aku bantu tiup. Jangan dikucek-kucek."

Ibra meniup mataku, aku ingin merem tapi jarinya menahan mataku untuk terus terbuka. Kupercayakan mataku ini padanya, karena dia teman sekelasku. Tetapi mataku jadi begini karena memang salah dia. Kalau mataku tidak sembuh tentu tidak ada jalur damai untuknya. Mataku masih harus kugunakan untuk mencari jodohku kelak.

"Tiupnya pelan-pelan dong! Jangan ngegas!" omelku begitu rasanya ada angin yang berhembus kuat di mataku.

"Bawel banget. Kalau banyak gerak entar meleset!" dia balik mengomeliku.

Brukkk!!

Tidak sampai jatuh ke lantai sepertiku, tetapi aku sukses tertawa begitu Ibra mendapatkan pembalasan di kepalanya. Aku mengikuti arah pandang Ibra. Dia terlihat marah karena ada yang menendang bola kaki ke arahnya.

Sekali Merdeka Tetap MerdekaWhere stories live. Discover now