Kesepakatan

27.9K 2.5K 157
                                    

Suasana di meja makan yang semula hangat, berubah mencekam begitu saja. Retno kini mengerti kenapa warga sangat takut dengan Santi, bahkan hanya untuk sekadar membicarakannya.

"Pak, cobalah bicara dengannya, siapa tahu dia akan mendengar ucapan orangtuanya, jika benar dia anak Bapak," pinta Retno yang sudah berdiri dan mendekat perlahan ke arah arwah si anak.

"B-bicara?" tanya Pak Abduh.

"Ya!"

"Bicara apa?"

"Apa saja, Pak!" sahut Retno lagi, yang kini sudah berdiri tepat di depan arwah si anak.

"Amira, Amira ada di sini ...?" Pak Abduh mencoba melakukan apa yang Retno pinta. "Kalau Amira benaran ada di sini, bapak minta Amira jangan mengganggu tamu bapak, mereka orang yang baik."

"Bagaimana reaksinya?" tanya Wawan.

"Dia melihat ke arah Pak Abduh sekarang!"

Tangis Bu Diah tak berhenti, sangat terasa sesal yang mendalam di hatinya.

"Terus, Pak! Tanyakan hal apa yang masih membuatnya berada di alam ini?"

"Amira, kenapa Amira masih di sini? Apa ada yang masih menahan Amira?"

"Bagaimana kali ini?" Wawan bertanya kepada Retno kembali. "Ret? Kenapa diam?"

Retno tiba-tiba memutar badannya, menghadap ke arah Pak Abduh dan Bu Diah, kemudian menangis.

Wawan bangkit dari kursi melihat tingkah sahabatnya itu. "Ret! Jangan bercanda!"

Retno tak menggubris perkataan Wawan, dia masih menangis, hanya saja suaranya bukan suara Retno, melainkan suara tangisan anak perempuan.

"A-A-Amira ...?" tanya Pak Abduh sambil menatap Retno.

Retno mengangguk manja, persis seperti anak kecil.

"Apa yang kamu mau, Nak?"

Retno menunjuk ke arah Bu Diah.

Pak Abduh menggenggam kuat tangan istrinya. "Ibumu? Kamu ... mau apa dari ibumu?" tanya Pak Abduh dengan suara bergetar, dia takut jika Amira menginginkan ibunya untuk pergi bersamanya ke alam lain.

Tak ada jawaban, ataupun gerakan dari Retno lagi. Tubuhnya tiba-tiba lunglai dan hampir jatuh jika Wawan tak sigap mengejar dan menangkapnya.

Wawan mendudukkan Retno kembali ke kursinya.

Tak lama, Retno membuka matanya kembali, lantas menyeka air mata yang membasahi wajahnya dari tadi.

"I-ini dirimu, kan, Ret?" tanya Wawan yang hanya dibalas anggukan.

"Amira ingin Ibu merelakan kepergiannya, dan berhenti menyalahkan diri sendiri atas apa yang menimpanya, karena itu yang membuatnya tak tenang," ucap Retno.

Sekarang mereka paham mengapa arwah Amira belum bisa kembali dengan tenang.

Mendengar itu, Bu Diah langsung memeluk erat suaminya. Air matanya tak henti mengalir, seperti menumpahkan seluruh air mata yang tertahan sepuluh tahun lamanya.

Pak Abduh mencoba menenangkan istrinya, menepuk-nepuk pundaknya dengan lembut. "Bicaralah, Bu! Bicara dengan Amira yang mungkin masih ada di sini."

"Dia masih di sini?" tanya Bu Diah yang masih terisak-isak, kepada Retno.

"Masih, bahkan sekarang dia sedang memegang tangan Ibu." jawab Retno. "Wajahnya pun sudah tak semengerikan tadi."

Tak terlihat sedikit pun raut ketakutan di wajah Bu Diah, malah senyum yang berbalut tangisanlah yang terpampang.

DESA SETANWhere stories live. Discover now