Kebangkitan!

19.3K 1.7K 20
                                    

Di tengah keributan yang terjadi, Retno menyelinap ke halaman belakang, mengikuti arahan dari bapaknya untuk menyelamatkan Wawan, Pak Sugeng, juga Pak Abduh, dan yang paling utama untuk menggagalkan ritual pemanggilan iblis.

"Siapa di sana?"

Retno menyipitkan mata, mencoba untuk melihat dengan jelas ketiga sosok yang terikat di tiang besi, tetapi gelapnya malam membuatnya kesulitan mengenali, walau dia sudah memiliki firasat tentangnya.

Retno melangkah pelan, mengambil obor yang tertancap tak jauh darinya, obor yang menjadi satu-satunya penerangan di tempat itu, lantas kembali melangkah mendekat ke arah ketiga sosok tersebut.

"W-W-Wawan?!"

Mata Retno membelalak, kala menyadari tiga orang yang terikat di tiang benar sahabatnya dan dua orang pria paruh baya yang dia kenal.

Retno berlari, tak peduli dengan apa yang terjadi setelahnya.

"Wan ... Wawan. Bangun, Wan! A-a-apa yang terjadi?" tanya Retno setelah melihat perut Wawan yang berlumuran darah.

Retno menampar-nampar wajah Wawan, berharap dapat membangunkan pria yang sejak kecil sudah bersahabat dengannya.

"WAWAN!" teriaknya, tetapi tetap saja tak ada yang terjadi.

Ditancapkannya obor ke samping, lantas dengan cepat membuka baju kaosnya, merobek lalu mengikatkan ke arah luka di perut Wawan. "Bertahanlah ... Wan," gumamnya panik.

Air mata dan keringat dingin menjadi satu di wajah Retno. Dia tak pernah berpikir hal ini akan terjadi, karena selama ini mereka baik-baik saja meski berurusan dengan para makhluk gaib. Dengan sekuat hati dia menahan rasa bersalahnya, menyeka air mata dan melepaskan ikatan di tangan mereka.

Retno membaringkan mereka bertiga satu per satu di tanah, memeriksa Pak Sugeng pertama kali, mengecek denyut nadi dan pernapasannya, dilanjutkan ke Pak Abduh, dia menghela napas lega, mengucap syukur karena keduanya masih hidup.

Tatapannya kini tertuju kepada Wawan, dengan gemetar dia menempelkan jari tangan kanannya ke arah nadi di tangan kiri Wawan, memeriksa detak jantungnya.

Tangannya bergetar semakin kuat, dia enggan untuk melanjutkan setelah memeriksa denyut nadi Wawan, tetapi harapnya terlalu besar kepada sahabatnya itu.

Dia terduduk di samping Wawan, atau tepatnya mayat Wawan, karena Retno tak mendapati detak jantung Wawan lagi.

"TIDAK!" teriaknya pilu bersamaan langit berubah memutih. "TIDAK! KENAPA HARUS DIA? KENAPA TIDAK AKU SAJA? DIA TAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN MASALAH INI!" Susah payah dia menahan, tetapi tangisnya tak terbendung lagi.

"A-a-apa yang terjadi?" tanya Embun yang muncul tiba-tiba di dekat Retno. Tak ada jawaban, tetapi Embun memahami dengan cepat situasinya setelah melihat Wawan di pangkuan Retno. "Aku akan membawa mereka kembali ke desa bersamaku," ucap Embun kemudian.

"Tolong hidupkan kembali sahabatku, apa pun akan kuberikan sebagai gantinya, apa pun!" mohon Retno tanpa menatap Embun.

Raut kasihan terpampang jelas, apalagi yang memohon adalah anaknya Kelana, anak dari pria yang sampai sekarang masih dicintainya.

"Aku bukan Tuhan, tapi setidaknya akan kujaga tubuhnya sementara hingga ada solusi lain," ucap Embun lantas menghilang bersama tubuh Pak Sugeng, Pak Abduh, dan Wawan.

"Ret, kenapa kau tertarik menulis novel?" tanya Wawan di suatu waktu saat mereka masih duduk di bangku SMA.

Retno yang tengah membaca buku di perpustakaan, menghentikan aktivitasnya.

"Karena ingin menjadi seperti Bapakku, yang juga seorang novelis," jawab Retno singkat.

"Itu saja?"

Terlihat berpikir sejenak, Retno lantas berucap, "Alasan lainnya, agar namaku abadi dalam karya yang kubuat."

DESA SETANWhere stories live. Discover now