Awal yang Baru

25.9K 1.9K 214
                                    

Desa Pagar Mentimun sekarang, dengan Desa Pagar Mentimun yang dulu sudah jauh berbeda, tak ada lagi rasa khawatir warga kepada keluarga Santi setelah Pak Sugeng menceritakan semuanya dengan rinci, malah mereka yang terlibat dengan pembakaran warung keluarga Santi dulu, datang dan meminta maaf langsung kepada Santi dan ibunya.

Ya, Santi dan ibunya berhasil kembali hidup, hanya sang ayah yang tak bisa kembali, karena Abyad yang memasuki tubuhnya bukan sembarang setan, apalagi tubuhnya sudah lama dikuasai. Namun Mansor tak masalah akan hal itu, baginya dia tetap salah dan harus dihukum, tak bisa kembali hidup lagi dan lanjut ke alam selanjutnya adalah hukuman yang tepat baginya.

"Bagaimana keadaan ibumu?" tanya Kelana kepada Retno.

Mereka kini tengah duduk di atas beton penahan abrasi di tepi pantai, menikmati angin sepoi-sepoi dan pemandangan hamparan laut berwarna biru muda, sebelum senja tiba.

"Ibu baik-baik saja, Pak."

"Syukurlah."

Retno menoleh ke arah Kelana. "Bapak enggak mau mengunjungi Ibu? Sekarang tugas Bapak sudah Retno gantikan, bukan?"

Kelana tersenyum, tetapi tatapannya menyiratkan kesedihan dari rindu yang tak tersampaikan.

"Bapak mau, tetapi juga tak ingin membuat ibumu semakin terluka."

"Bapak bisa melihat Ibu diam-diam dari kejauhan."

"Jika rasa rindu ini bisa hilang dengan hanya menatap, ingatan bapak tentang wajah ibumu harusnya sudah cukup, tetapi bukannya hilang, rasa rindu itu semakin mengembang. Bapak takut tak bisa menahan diri jika berada di dekat ibumu, takut tak bisa menahan untuk menghampiri dan memeluknya sepenuh hati."

Retno mengangguk, paham bahwa tak semudah yang dia pikirkan untuk masalah rindu antara kedua orangtuanya.

"Bagaimana pertemuan terakhirmu dengan ibu? Apa dia akan baik-baik saja menurutmu?"

Kini Retno yang tersenyum. "Ibu akan baik-baik saja, karena yang menggantikan posisi Retno adalah Wawan."

Kelana mengangguk. "Bapak tak sempat mengenal jauh sahabatmu itu, tetapi mendengar ceritamu, juga dari pengorbanannya di desa ini, dia memang sosok yang pantas sebagai pengganti, sosok yang dapat diandalkan untuk menjaga ibumu."

"Ya, dia memang bisa diandalkan!"

"Oh, ya! Bapak dengar motormu hilang waktu itu?"

Retno tertawa. "Ya, dan seandainya motor itu tidak hilang, tak akan berakhir seperti ini ceritanya."

Kelana tersenyum, dia paham yang dimaksud anaknya, karena sudah mendengar ceritanya dari Pak Abduh.

"Kau tahu siapa yang menyembunyikan motormu?"

Retno menatap tajam mata bapaknya. "Jadi motor Retno disembunyikan? Siapa yang menyembunyikannya?"

"Arwah neneknya Santi!" seru Kelana lantas tertawa.

"Kenapa dia melakukannya, Pak?"

"Apalagi? Tentu saja dia berharap kau bisa menyelesaikan masalah yang dibuat keluarganya, dan mengembalikan nama baik keluarga mereka tentu saja.

Retno tersenyum tipis mendengarnya, lantas tertawa, diikuti Kelana, menyadari betapa pentingnya peran neneknya Santi yang terkesan hanya muncul sesaat untuk menunjukkan arah.

Lama mereka masih berbincang-bincang di sana, hingga matahari benar-benar sudah tenggelam barulah mereka beranjak, berpamitan dengan warga desa yang sudah berkumpul di aula desa.

Pak Sugeng, Pak Abduh, dan Santi menjadi perwakilan para warga untuk mengalungkan kalung bunga, simbolis dari rasa terima kasih mereka kepada sang penyelamat desa.

"Maaf hanya bisa memberikan kalung bunga untuk kalian," ucap Pak Sugeng.

"Tak masalah, ini juga sudah sangat berarti bagi kami," jawab Kelana dengan senyum semringah.

Saat Pak Sugeng dan Pak Abduh tengah berbicara dengan Kelana, Santi melangkah pelan ke arah Retno.

"Terima kasih sudah membantu kami, dan membuatku benar-benar hidup kembali." Santi membuka omongan.

"Sama-sama," jawab Retno lantas tersenyum.

"Aku ada hadiah untukmu, hadiah yang mungkin tak seberapa, tetapi mungkin ... berkesan untukmu "

Retno mengernyitkan dahi. "Apa?"

Santi mendekat ke arah Retno, sangat dekat hingga Retno bisa mencium jelas wangi parfum yang dia gunakan, wangi lembut yang menenangkan, berbeda dengan wangi parfum saat pertama kali Retno bertemu dengan tubuh Santi yang dikuasai setan waktu itu.

Santi berjinjit, lantas mencium pipi Retno dengan lembut.

Suasana ramai di aula, kesibukan masing-masing warga yang saling berbincang, bahkan para pria tua di dekat mereka telah hanyut dalam obrolan mereka, membuat tak ada satu pun yang menangkap apa yang Santi lakukan.

Retno terdiam, meski tak begitu lama, tetapi ciuman Santi terasa membekas di pipinya.

"Sekali lagi, terima kasih," ucap Santi dengan wajah yang memerah, lantas pergi meninggalkan Retno yang terdiam bak batu prasasti.

Dia tiba-tiba teringat akan pertanyaan Wawan kemarin, meski tujuannya hanya mengejek, tetapi ada alasan kenapa tak ada wanita yang mengisi hidupnya selain sang ibu, yakni dia tak pernah merasakan debaran saat berhadapan dengan wanita lain, tetapi kini debaran jantungnya sendiri tak dapat dia kuasai.

"Kenapa harus datang di saat seperti ini?" benak Retno.

Acara perpisahan yang sederhana, berakhir dengan sederhana juga. Kelana dan Retno berpamitan untuk kembali ke Kota Padang 12 setelah memberikan pesan-pesan kepada warga agar lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, agar tak terulang lagi kejadian seperti sebelumnya, kejadian mengerikan yang memakan korban nyawa.

Setahun berlalu, kehidupan mereka di Desa Pagar Mentimun semakin membaik, termasuk Santi yang memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya ke Jawa, sementara sang ibu tetap di desa dan kembali membuka usaha warung mereka.

Wawan? Selama setahun penuh dia belajar menulis mati-matian, dia tak ingin mengecewakan amanat Retno yang memintanya untuk meneruskan cita-citanya menjadi penulis, kali ini tanpa paksaan, karena dia sebenarnya sudah tertarik untuk menulis sejak bersahabat dengan Retno.

"Bang, Abang mau pergi riset lagi? Belum sampai setahun novel abang tentang Padang 12 yang kemarin terbit, sudah mau buat baru lagi?"

Wawan tersenyum, sekarang dia paham rasanya menjadi Retno dulu setiap ingin pergi riset.

Wawan bangkit dari duduknya di tempat tidur, menghampiri Widuri dan memeluknya dengan erat.

"Abang janji akan kembali dengan selamat seperti sebelum-sebelumnya, Bu," ucap Wawan mencoba menenangkan hati ibu keduanya itu.

"Tapi kali ini tak ada ...."

"Tak usah khawatir, Bu. Wawan selalu ada menemani ke manapun abang pergi," ucap Wawan berkebalikan dengan kata hatinya, yang mana hatinya berkata Retno yang selalu ada menemaninya.

Widuri tersenyum.

"Kali ini ke mana?"

"Ke Pulau Kabung, Kabupaten Bengkayang, Bu."

Widuri melotot. "Jauh amat kali ini, Bang? Ada apa di sana?"

Wawan menatap ibu keduanya dengan serius. "Teror kuntilanak hitam sedang terjadi di sana!"

Tamat.

Terima kasih sudah membaca Mati Suri. Ini adalah versi revisi, di mana terjadi perubahan plot ekstrim di akhir, penghalusan scene berbau fantasi, juga perbaikan tulisan.

Endingnya sengaja digantung, untuk apa? Semoga saja ada sekuel, tetapi setelah cerita ini, saya rencananya mau merevisi cerita Rumah Jingga yang isinya hancur lebur.

Kalian boleh mengikuti cerita Rumah Jingga, sambil berdoa semoga cerita Mati Suri berlanjut. 😁

Terima kasih sebesar-besarnya.

#BangEn

DESA SETANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang