Mati Jasad

19.2K 1.6K 87
                                    

Retno dan Kelana terdesak, mereka berada dalam posisi yang tak menguntungkan, di hadapan mereka berdiri Sang Iblis, bersama puluhan mayat hidup di sisinya.

"Apa yang harus kita lakukan, Pak?"

Kelana menghela napas, tak tahu harus berkata apa kepada Retno, rasa optimisnya kini lenyap tak bersisa. Dia menyadari perbedaan kekuatan yang besar antara mereka, perbedaan kekuatan yang bahkan sulit hanya untuk sekadar mengimbangi.

Gemuruh terdengar di langit, yang tak lama disusul oleh tetesan-tetesan air yang jatuh ke bumi, tetesan yang lantas berubah menjadi hujan.

"Panas," gumam Retno, lantas meringis.

Kelana menengadah ke langit, turut merasakan air yang jatuh ke tubuhnya. "Kau benar, panas. Ini pasti ulahnya!"

Bukan hujan biasa, air yang jatuh terasa amat panas, seperti tumpahan air yang mendidih dari langit, membuat Kelana dan Retno kepayahan, terutama Retno yang sudah tak lagi mengenakan baju.

Cepat Kelana membuka bajunya, memberikannya untuk digunakan oleh Retno yang terlihat sangat kesakitan karena hujan aneh itu, meski awalnya Retno menolak, tetapi Kelana memaksanya hingga akhirnya dia mengenakannya.

"Lari, Nak," ucap Kelana sedikit berbisik, saat melihat sang iblis dan pasukannya mulai melangkah ke arah mereka.

"Maksud, Bapak?" Retno bukannya tak mendengar, hanya saja dia tak yakin ucapan itu keluar dari bapaknya.

"Larilah! Kita tak mampu melawannya. Sebelum menghabiskan energi menghadapinya, hujan yang dia panggil ini yang akan lebih dulu membinasakan kita," jelas Kelana, memperjelas kenyataan yang ada kepada anaknya.

Retno enggan mengakuinya, tetapi ucapan bapaknya benar, meski saat ini dia mampu sedikit bertahan karena mengenakan baju bapaknya, tinggal menunggu waktu saja baju itu habis terkena hujan air panas.

"Baik, mari kita lari!" seru Retno lantas berlari hingga berada di samping pondok, tetapi kemudian berhenti saat menyadari bapaknya tak ikut serta. "BAPAK?"

"PERGILAH, NAK! BIARKAN BAPAK MENAHAN MEREKA SELAMA KAU LARI!"

"TAPI ...."

"TAK ADA WAKTU, NAK, TAK ADA WAKTU LAGI! KAU HARUS SELAMAT UNTUK MENGHENTIKAN SEMUA INI!"

Cukup sekali dia merasa kehilangan bapaknya, kehilangan yang membuatnya tumbuh tanpa sosok bapak, dia tak ingin mengalaminya untuk kedua kalinya.

Retno melangkah kembali ke arah bapaknya, mengabaikan perintah yang bapaknya ucapkan.

Akan tetapi, langkahnya tiba-tiba terasa berat, tubuhnya terasa panas, bukan karena hujan yang turun, tetapi panas yang berasal dari dalam tubuhnya.

"A-a-apa ... yang terjadi?" gumamnya.

Napasnya tersengal. Pandangan mengabur. Tubuhnya lemas tak berdaya seperti tak bertulang, membuatnya jatuh menghantam tanah begitu saja.

Dengan matanya, satu-satunya pancaindra yang masih berfungsi, Retno melihat bapaknya berteriak ke arahnya, tak terdengar suaranya di telinga Retno, tetapi dia tahu bapaknya sedang meneriakkan namanya.

"Apa mungkin sudah tiba waktunya?" benak Retno saat ini, membuat ingatannya melayang kembali ke telaga larangan, saat jin penjaga mengajukan sebuah persyaratan agar dia mendapatkan penawar racun.

"I-i-itu ... syaratnya?" Tak percaya, itulah reaksi Retno saat mendengar persyaratannya.

"Jika setuju, kau boleh membawa air dari telaga ini dengan kendi yang sudah kusediakan, tetapi jika tidak, kau boleh pergi keluar sekarang tanpa membawa apa-apa!" Jin penunggu telaga mengulang kembali ucapan sebelumnya.

Retno jatuh berlutut, memegang kepala dengan kedua tangannya, lantas berteriak sekuat tenaga.

"J-j-jadi, saya harus ... menggantikan posisi Bapak saya menjadi penjaga gerbang di sini?" tanyanya kembali saat sudah berhasil menenangkan diri.

Jin penunggu telaga mengangguk.

"Selamanya?"

"Selamanya atau sampai ada pengganti lainnya."

"Tapi ... aku manusia!"

"Bukankah tak lama lagi jiwamu akan terpisah dari raga? Lagi pula, kau tak seutuhnya manusia."

Retno mengerti, sekaranglah waktu yang jin penunggu telaga maksud, waktu jiwa dan raganya terpisah oleh racun yang dicekoki oleh Abyad. Namun, sekali lagi pikirannya melayang ke masa lalu, jauh ke masa kecilnya.

"Bagaimana Bapak meninggal, Bu?" tanya Retno saat berusia lima belas tahun, pertanyaan yang terlontar begitu saja saat mereka tengah makan di dapur.

Widuri tersenyum. "Kenapa menanyakannya, Bang?"

"Retno hanya ingin tahu, karena selama ini Ibu hanya berkata Bapak sudah tenang di surga."

Widuri menghela napas, dia sadar sekarang Retno sudah tumbuh menjadi seorang remaja, bukan lagi anak-anak yang akan puas hanya dengan jawaban seperti itu saja.

"Ibu akan menceritakan yang sebenarnya," ucapnya dengan suara berat. "Bapak ... meninggal karena terjatuh dari Gunung Palung, saat dia tengah melakukan riset untuk novelnya."

"Kenapa bisa jatuh?"

Widuri menggenggam tangan anak satu-satunya itu, lantas berucap, "Paman Fajar-sahabat Bapak yang juga ikut riset ke sana bilang, Bapak terpeleset saat mendaki di jalur yang memang curam dan licin. Paman Fajar sudah mencoba menangkapnya, tetapi gagal karena dia sendiri hampir terpeleset juga."

Retno sempat terlihat sedih, tetapi kemudian tenang kembali, karena dia sudah paham bahwa tak ada gunanya menyesali hal yang sudah terjadi.

"Retno mau jadi penulis novel seperti Bapak," ucap Retno pada akhirnya.

"Jangan berpikir seperti itu! Ibu tak mau kamu ...."

"Tak mau apa, Bu?"

"Ibu ... ibu ... ibu tak mau ditinggalkan lagi oleh orang yang ibu sayang, untuk kedua kalinya," ucap Widuri lantas menitikkan air mata.

Retno mengusap air mata di wajah Widuri. "Retno janji tak akan meninggalkan Ibu, seperti yang Bapak lakukan," ucapnya, membuat Widuri tersenyum.

"Ibu pegang janji kamu!" seru Widuri, lantas mengusap-usap rambut Retno dengan lembut.

"Inikah takdir-Mu untukku? Padahal aku sempat membawa penawar tersebut cukup lama, tetapi tak sedetik pun terpikir untuk meminumnya. Maafkan Retno, Bu, Retno tak mampu menepati janji," benaknya tuk terakhir kali, sebelum matanya terpejam, dan napasnya terhenti.

"RETNO!" teriak Kelana.

Sang iblis yang dari awal hanya terdiam, tertawa menyadari apa yang sedang terjadi.

Kelana mencoba menghampiri Retno, tetapi dia tak dapat bergerak, tubuhnya seperti tertahan oleh banyak cengkeraman tangan yang tak terlihat.

Rasa perih karena hujan tak seberapa dibanding rasa perih melihat tubuh anaknya tergelatak tak berdaya di tanah.

Sang iblis melangkah, mendekat ke arah jasad Retno.

Kelana berusaha melepas cengkeraman tak terlihat pada dirinya lagi, tetapi tetap sia-sia.

Sang iblis berdiri tepat di samping tubuh Retno sekarang, menatap raga tanpa nyawa itu dengan tajam.

"TIDAK!" teriak Kelana dengan usaha yang masih sia-sia.

Tubuh Retno terangkat dari tanah, melayang oleh kekuatan gaib sang iblis yang tak kasat mata.

"JANGAN KAU SENTUH TUBUH ANAKKU!"

Sang iblis menoleh ke arah Kelana, lantas tertawa terbahak-bahak.

Bersambung.

Retno mati?

Sampai jumpa di bab selanjutnya. :D

#BangEn

DESA SETANWhere stories live. Discover now