Nek Sirih

23.3K 1.9K 36
                                    

Suasana Desa Pagar Mentimun mendadak ramai dengan teriakan histeris, tangis, juga umpatan.

Keluarga mereka, anak, ayah, ibu, dan kakak, maupun adik, tiba-tiba saja tergeletak tak bernyawa di rumah, di warung, dan tepi pantai, sebuah tragedi terjadi melebihi apa yang Retno bayangkan, melebihi apa yang ingin dia dapatkan untuk tulisannya.

"Apa yang terjadi, Ret?" tanya Wawan memecah lamunan Retno.

Mereka kini berada di depan rumah salah satu warga yang keluarganya juga mengalami hal serupa.

Retno teringat kembali dengan apa yang dia alami ketika berada di pondok kecil milik Mansor, di tengah-tengah perkebunan sawit.

"Racun!" Akhirnya Retno bersuara, membuat segala perhatian tertuju padanya.

"Racun?" tanya Pak Sugeng.

"Ya!" seru Retno. "Ketika berada di pondok di tengah-tengah kebun sawitnya, saya dicekoki cairan hitam pekat oleh setan yang merasuki tubuh Mansor, cairan pemutus tali jiwa katanya!"

Wawan menggapai kedua bahu Retno, memutar tubuh sahabatnya itu menghadapnya. "Maksudmu, kau juga meminumnya? Kau juga akan mengalami seperti mereka?"

Retno memejamkan mata. "Sepertinya ... iya," jawabnya getir.

"Sial!" umpat Wawan keras-keras. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Wawan menatap bergantian ke arah Pak Sugeng dan Pak Abduh. Tubuhnya bergetar, ngeri hal itu akan segera menimpa sahabatnya.

"Saya pun tidak tahu, tetapi jika itu benar, semua warga sudah teracuni tanpa mereka sadari. Masalahnya ialah, melalui apa? Jika kita tau sumber penyebabnya, maka kita bisa menghentikan rantai penyebaran racun tersebut." Pak Sugeng angkat bicara.

"Ada sebuah penampungan air di bukit yang berada di tepi pantai!" seru Pak Abduh dengan tangan bergetar menunjuk ke arah pantai.

"Astagfirullah! Saya lupa penampungan air itu milik Mansor!" ucap Pak Sugeng lagi.

"Ada penampungan air?"

Para pria paruh baya itu mengangguk serempak menjawab pertanyaan Retno.

Saat musim kemarau seperti ini, sumur di desa airnya menjadi keruh, tak layak konsumsi, bahkan untuk sekedar mencuci. Satu-satunya air yang digunakan warga untuk kebutuhan sehari-hari berasal dari penampungan air di atas bukit, di mana Mansor yang membangunnya untuk desa.

"Di mananya letaknya, Pak? Dekat tower? Kebetulan saya pernah naik ke atas hingga mencapai towernya," ucap Retno.

Pak Abduh menggeleng. "Tidak sejauh itu, karena jalanannya terlalu menanjak jika ke tower, posisinya berada di tengah-tengah," jelasnya.

"Jika benar dari sana sumbernya ...." Pak Sugeng menggantung ucapannya.

Tanpa menyelesaikan ucapannya pun mereka mengerti yang ada di pikiran Pak Sugeng, pemikiran bahwa mereka juga sudah meminum racun tersebut tanpa sadar.

"Saya pikir mereka baru-baru ini memasukkannya, buktinya dia mencekoki saya cairan itu! Jika sudah lama, harusnya tak perlu dia lakukan lagi, karena kami sudah meminum air putih di sini saat makan malam di rumah Pak Abduh," ucap Retno menjelaskan perkiraannya.

Wajah mereka yang mendengar kembali semringah, masih ada kemungkinan mereka tak meminumnya, dan tak perlu takut mengalami kejadian di luar nalar itu.

"Kalau begitu kita masih ada waktu!" seru Pak Sugeng. "Biar saya dan Pak Abduh yang mengosongkan air di penampungan itu."

"Lalu apa yang dapat kami lakukan?" tanya Wawan, mewakili pertanyaan yang mengambang di kepala Retno juga.

Menghentikan penyebaran racun penting, tetapi tak cukup itu saja, mereka harus menemukan cara untuk menghentikan setan di dalam tubuh Mansor, juga menemukan cara untuk membuang racun yang telah di minum warga yang masih hidup dan Retno.

DESA SETANWhere stories live. Discover now