Terjebak!

26.4K 2.1K 79
                                    

Mereka tiba di depan rumah Santi sekali lagi, tepat pukul dua belas malam. Wawan menyarankan Retno untuk pergi saat pagi, tetapi Retno yakin semua sudah terlambat jika menunggu terlalu lama.

Kini kedua sahabat itu sudah berdiri di depan pintu rumah Santi, usai melangkah dengan hati-hati dan tanpa suara agar tak memancing perhatian warga.

"Sekarang apa, Ret? Mengetuk rumah orang di tengah malam?"

"Kau kembali, seperti yang kukatakan sebelumnya, kan?"

Retno dan Wawan terlonjak saat mendapati makhluk yang berada dalam tubuh Santi sudah berada di hadapan mereka, dengan pintu yang sudah terbuka entah sejak kapan.

Angin malam yang sudah dingin, terasa semakin membeku saat mereka berada di dekat makhluk tersebut, membuat tubuh mereka menggigil.

"Katakan apa yang sebenarnya tengah terjadi saat ini? Ke mana makhluk sejenismu membawa Pak Abduh dan istrinya?" tanya Retno tanpa sungkan, sementara Wawan bersembunyi di belakang Retno.

Makhluk dalam tubuh Santi tersenyum. "Kau ingin tahu?"

"Ya! Katakan sekarang!"

Wawan menoleh ke sekitar rumah, takut suara Retno barusan memancing warga mendatangi mereka, syukurlah tak ada tanda-tanda warga mendekat.

"Masuklah, aku tak akan memberitahumu jika kau tidak masuk ke dalam terlebih dahulu," ucap makhluk tersebut, lalu melangkah pelan masuk ke dalam rumah.

"R-Ret, kau yakin mau ... masuk?"

"Tak ada cara lain, kan?" tanya Retno lantas menyugar rambut gondrongnya ke belakang, mencoba menghilangkan rasa gelisahnya.

"Tapi bagaima jika ...."

"Kau tunggu saja di sini jika takut!"

Wawan melihat ke sekitar kembali, hanya ada kegelapan sejauh matanya memandang, hal yang tak lebih baik dibanding ikut ke dalam.

"O-oke ... ayo masuk."

Dengan sedikit keraguan di dalam hati masing-masing, mereka memaksakan kakinya untuk melangkah ke dalam rumah, meski tahu kemungkinan terburuk bisa saja terjadi saat mereka berada di dalam.

"Kalian memang pria pemberani, aku tak salah pilih," puji makhluk dalam tubuh Santi yang berdiri tepat di hadapan mereka.

"Sekarang katakan sesuai janjimu!"

Makhluk dalam tubuh Santi tersenyum. "Janji? Kapan aku berjanji?"

"Kau—"

Belum sempat Retno menyelesaikan ucapannya, terdengar tawa mengerikan dari arah kamar Santi, tawa mengerikan yang tak asing di telinga mereka, tepatnya baru saja mereka dengar beberapa saat yang lalu.

"Ret, suara tawanya," bisik Wawan.

"Aku tahu!" Retno pun mengenali tawa yang terdengar sekarang.

Angin berembus kencang dari arah luar rumah, membuat foto-foto keluarga di dinding berjatuhan ke lantai, memecahkan vas bunga dan lampu gantung di ruang tamu, lantas disusul suara dentuman nyaring dari pintu rumah yang tertutup kasar.

Ruang tamu menjadi gelap seketika, menyisakan sinar bulan yang masuk melalui lubang ventilasi di atas pintu dan dari celah-celah jendela kayu di sampingnya.

Retno dan Wawan refleks mengeluarkan ponsel mereka, lantas menyalakan lampu senter.

Detak jantung Retno dan Wawan berdegup kencang, seakan-akan sedang berlomba menuju garis akhir—berhenti berdetak.

"Akhirnya, begitu mudah menjebak kalian!"

"Ternyata benar, itu suara tawamu," ucap Retno menangkap sosok yang muncul di hadapannya dengan bantuan cahaya senter.

"Benar, aku yang mengunjungi kalian di rumah Abduh!"

"Di mana mereka?" kejar Retno lagi.

"Di saat seperti ini, kau masih bisa memikirkan orang lain?" tanya makhluk dalam tubuh Santi kepada Retno.

"Tenanglah! Aku hanya memindahkan mereka yang tertidur lelap, ke kuburan di desa ini!"

Kedua makhluk tersebut lantas tertawa melihat wajah Retno dan Wawan, yang berhasil masuk ke dalam jebakan mereka.

Tubuh Retno dan Wawan bergetar hebat saat ini, mereka tengah kalut memikirkan cara agar lolos dari makhluk-makhluk mengerikan di hadapan mereka.

"Baiklah, sekarang waktunya!"

Makhluk yang membawa Pak Abduh dan istrinya, melayang ke arah Retno dengan perlahan.

"Aku memilihmu! Karena kau terlihat sempurna untuk berpasangan dengan tubuh yang digunakan istriku!" serunya kepada Retno.

"Kau tidak bisa mengambil alih tubuh yang masih hidup, kan? Hanya bisa merasuki mereka saja jika tubuh yang kau gunakan masih hidup!" tebak Retno.

"Dari mana kau tahu?"

"Karena istrimu mulai masuk ke dalam tubuh Santi dan menguasainya saat Santi sudah tak bernyawa!"

"Kau memang pintar, aku tak salah memilihmu," bisiknya lantas menjilat telinga Retno dengan lidahnya yang panjang dan sepanas api.

Retno terperanjat dan jatuh terduduk di lantai.

"Ret!" teriak Wawan, lantas menolongnya bangkit kembali.

Mereka mundur ke arah pintu, mencoba membukanya, tetapi sia-sia, pintunya seakan-akan terkunci mati.

Retno melirik ke arah jendela kayu di samping pintu.

"Dobrak jendelanya, aku akan mengalihkan perhatian mereka," bisik Retno ke telinga Wawan.

"Lantas kau?"

"Tenang, aku punya rencana!"

Wawan menggeleng. "Jangan! Jangan berpikir untuk menjadi pahlawan di saat-saat begini!"

"Ikuti perintahku! Tak ada banyak waktu lagi!"

"Tetapi ...."

"Percayalah!" tukas Retno.

"Bertengkar sebelum mati?" ejek makhluk tersebut yang kembali mendekat.

"Sekarang!" teriak Retno.

Retno berlari ke arah makhluk dalam tubuh Santi, menembus makhluk berbadan hitam legam yang mendekat ke arah mereka, lantas mencekik leher tubuh Santi sekuat tenaga.

"Apa yang kau lakukan? Tubuh ini sudah mati, tak bisa kau bunuh lagi!" ejek makhluk dalam tubuh Santi sambil tertawa.

"Ke mana kepintaranmu sebelumnya?" Makhluk satunya ikut mengejek Retno, membuat Wawan lepas dari pandangan dan incarannya.

Selang beberapa detik, terdengar suara kayu patah dari arah jendela, membuat mereka serentak menatap ke arah suara, dan mendapati Wawan yang sudah berada di teras rumah.

Wawan berhasil keluar dengan mendobrak jendela, saat Retno mengalihkan perhatian para makhluk itu.

"Pergi! Cari orang yang dapat membantu!" teriak Retno.

Dengan wajah terpaksa Wawan berlari meninggalkan sahabatnya di rumah terkutuk ini sendiri.

Retno tertawa lepas melihat Wawan berhasil kabur. Di pikirannya, andaipun Wawan tak berhasil kembali untuk menolongnya, setidaknya sahabat terbaiknya itu selamat.

"Diam!" teriak makhluk berbadan hitam legam yang tak senang mendengar tawa Retno, lantas menghantam tubuh Retno dengan tangan besarnya hingga membentur dinding dengan keras.

Napas Retno tersengal karenanya. Tak lama rasa sesak menjalar di dada. Kelopak mata pun menutup dengan perlahan.

"I-Ibu ...," gumam Retno lantas tak sadarkan diri.

Bersambung.

Terima kasih yang sudah dengan setia menanti, Insya Allah penantian kalian gak akan sia-sia, dan terpuaskan dengan cerita yang saya bawa.

Cerita selanjutnya? Retno jadi hantu? Entahlah, tunggu aja! 😂

#BangEn

DESA SETANWhere stories live. Discover now