SAHABAT

17.9K 1.4K 28
                                    

Bel istirahat berbunyi, menciptakan keriuhan lain setelahnya, keriuhan dari para murid SMPN 1 Ketapang yang berlari ke arah kantin yang berada di sudut sekolah. Namun ternyata, tak semuanya seperti itu, ada segelintir murid yang sukanya mengganggu murid yang mereka anggap culun, daripada pergi menikmati makanan di kantin.

"Siapa namamu tadi anak baru?" Salah satu dari lima orang murid kelas tiga yang melakukan perundungan, bertanya.

Murid yang dirundung tak terlihat ingin menjawab pertanyaan itu, dia tahu itu hanya basa-basi kakak kelasnya, karena nama siswa sudah tercantum jelas di seragam sekolah mereka.

"Jawab! Kau bisu?" tanya kakak kelasnya lagi lantas menarik kerah baju murid yang dirundung.

"Hajar aja dia, Angga!" Temannya mengompori.

"Betul, Angga. Kelamaan kalau gini, nanti keburu bel masuk!" sahut teman yang satunya lagi.

Anggara tersenyum, dan tanpa banyak bicara lagi, dia menghajar wajah murid tersebut dengan beberapa kali pukulan hingga bibirnya berdarah.

Tak ada yang menyadari aksi mereka, gudang sekolah yang berada cukup jauh dari keramaian, membuat mereka dengan tenang melancarkan aksinya, bahkan tak perlu memikirkan murid yang mereka rundung mau masuk ke kelas lagi atau tidak setelah lumat dihajar.

"Apa ...." Murid yang dirundung, terbatuk-batuk. "Apa ... salahku?"

Mereka tertawa, puas akhirnya bisa membuat si murid baru, bicara.

"Kau anak baru! Anak kelas satu! Tetapi sudah beraninya mendekati pacarku?"

Akhirnya terungkap alasan mereka merundung si murid.

"Siapa ... aku tak merasa ...."

Sebuah pukulan di perut membuat ucapannya terputus.

"Kirana—pacarku! Puisi yang kau tulis di mading untuknya, kan? Karena dia terlihat bahagia setelah membaca puisimu!"

Si murid yang dirundung tertawa. "Dianya saja yang merasa, puisiku itu wujud syukur kepada Tuhan, bukan dia."

Para perundung dibuat terdiam dengan jawabannya, tetapi entah menutupi rasa malu, atau tak mau percaya dengan alasan itu, mereka melanjutkan perundungan hingga tanpa sadar bel masuk sudah berbunyi dari tadi, menyisakan mereka saja yang belum masuk ke kelas.

Retno, nama yang tertera di seragam siswa yang dirundung hanya pasrah menerima pukulan dan tendangan ke perut dan wajahnya. Darah di bibir dan di hidungnya tak membuat si perundung berhenti, malah makin menggila.

Mereka bak iblis dalam tubuh anak-anak, yang hanya menyamar untuk menebar kejahatan dan kebencian sejak dini.

"Habisi ... habisi ... habisi ...." Teman-temannya mengompori si Anggara untuk memukulkan kayu batangan di tangannya, ke arah kepala Retno.

Retno membelalak, bukan karena takut terkena pukulan, tetapi dia menangkap sosok lain di belakang para perundung, sosok tak kasat mata yang ikut mengompori kakak kelasnya itu.

"HABISI! HABISI! HABISI!" seru sosok berwajah gosong tersebut, sama seperti teman-teman si perundung, tetapi lebih keras dan lantang, juga menakutkan.

Retno memejamkan mata saat melihat sosok tersebut mendekatinya, yang dikira seniornya adalah wujud pasrah menerima pukulan, hingga terdengar suara pintu gudang terbuka, bersamaan dengan sinar matahari masuk menerangi gudang, membuat sosok tak kasat mata cepat-cepat menghilang.

"Ah, Retno! Di sini kau ternyata!" sapa murid yang membuka pintu gudang lantas tertawa.

"Siapa kau?!" tanya Anggara geram.

DESA SETANWhere stories live. Discover now