Gerbang Lainnya

21.8K 1.9K 136
                                    

Retno mengikuti langkah si kakek, berjalan membelah kota yang gemerlap dan riuh dengan keramaiannya. Retno pernah mendengar tentang desas-desus kota ini yang katanya mewah, tetapi dia tak pernah membayangkan akan semewah ini, kelewat mewah malah.

"Apa semua daerah yang dihuni bangsa jin seperti ini?" tanya Retno kepada si kakek di sela perjalanan.

Si kakek tertawa. "Sejauh yang kutahu, setiap tempat berbeda, menyesuaikan dengan karakteristik dan selera penghuninya juga."

"Sudah seperti manusia saja!" seru Retno.

"Jin dan manusia diciptakan untuk menyembah dan menjalankan perintah-Nya bukan?"

"Saya tahu, tetapi ...."

"Hanya bahan penciptaan kita saja yang berbeda, tetapi tujuannya sama, begitu pun soal kehidupan, ada jin yang kafir dan ada jin yang taat kepada Allah, maka tak salah bukan, jika kami juga punya selera?" Si kakek bertanya.

"Saya mengerti sekarang, Kek." Retno mengangguk.

Cukup jauh rasanya mereka berjalan, membuat Retno berkali-kali melihat ke arah benang di tangan kanannya, kemudian melihat ke arah benang yang berada di jalan.

Si kakek yang menyadarinya, lantas berkata, "Tenanglah, benang itu dapat menyesuaikan panjang dengan sendirinya, tak usah khawatir." Retno bernapas lega mendengarnya.

Mereka kini tiba di ujung kota, ada sebuah gerbang lainnya di hadapan mereka, tak semewah gerbang selamat datang sebelumnya, gerbang ini sangat lusuh dan tertutup rapat oleh pintu yang terbuat dari teralis-teralis besi berwarna hitam, di balik gerbang tersebut terlihat hamparan hutan yang lebat dan sangat gelap.

"Kita sampai," ucap si kakek.

"Lagi?" gumam Retno yang masih belum lupa rasanya saat dia berusaha keluar dari kebun sawit Mansor.

Si kakek menatap Retno. "Di dalam sana ada hal yang kau cari untuk menyelamatkan warga desa."

"Apa wujudnya, Kek?"

"Air, dari sebuah telaga terlarang yang berada jauh di kedalaman hutan!" jawab si kakek ringan. Retno menelan ludah mendengarnya. "Dan, ada satu hal yang perlu kau ketahui, berbeda dengan penghuni kota yang hanya berisi bangsa jin, di dalam hutan tersebut berisi bangsa setan dan bangsa jin kafir pendukung setan," tambahnya.

Retno berdecak, dia sudah dapat menebak bahwa apa yang akan dilakukannya tak akan mudah.

"Kau ingin mundur?" selidik si kakek.

Sudah sejauh ini dia berjalan, dan kata 'mundur' sudah terlalu terlambat baginya, seandainya dia mundur saat diperingati si kakek waktu itu, dia tidak akan berada di sini, dalam posisi seperti sekarang ini.

"Desa Pagar Mentimun akan berubah menjadi desa para setan jika saya berhenti sekarang," ucap Retno.

Si kakek tahu Retno tak akan mundur, sejak bertemu di pinggir jalan saat itu, dia telah menyadari siapa pemuda itu.

"Kau memang sangat mirip dengan bapakmu."

Retno menoleh mendengar ucapan si kakek. "Kakek juga kenal dengan Bapak saya?" tanyanya heran.

"Tak ada penghuni kota ini yang tak mengenalnya, Putra Kelana!" jawab si kakek.

"B-bagaimana bisa?" Retno menatap si kakek dengan penuh tanda tanya.

"Masuklah, kau akan menemukan jawabannya di sana, dan bawalah ini!" seru si kakek, lantas memberikan sebuah lentera yang muncul begitu saja di tangan kanan si kakek, membuat mata Retno membulat. "Titipkan benangmu kepadaku, karena jika kau membawanya ke dalam sana, benang tersebut putus dengan sendirinya."

DESA SETANWhere stories live. Discover now