Ta'aruf

2.3K 95 14
                                    

Aku engga tau apa yang aku rasakan sekarang. Yang aku tahu, aku cuman pingin nangis dan diam menghabiskan malam. Ketika aku mencoba untuk melihat hari esok hanya ada gelap yang aku lihat, visiku buram, abu-abu, seolah rasanya engga bakal ada apa-apa yang menyenangkanku esok hari.


Aku engga tau mulai kapan air mataku jatuh, lalu wajah dia terbayang seiring bekas suara temanku menyampaikan dengan nada lembut dan iba padaku bahwa si ikal sedang menjalani ta'aruf dengan gadis entah siapa yang beruntung itu. 

Tadi sore aku masih dalam mode bahagia dan penuh cinta, lantaran aku tengah kasmaran sebab aku tengah menjalankan pendekatan dengan seseorang, bahkan sabtu kemarin kami sempat keluar bersama meskipun itu hanya sekedar fotokopi soal pretest praktikum. Bahkan aku sudah dibuat senyum-senyum sendiri dengan treat dia ke aku, pemuda gentle yang senyumnya bikin aku engga bisa lupa dan seolah menyirami patahan hatiku yang terkubur di dalam tanah. Kembang itu tumbuh, kurasa, dan mulai menjadi tunas baru untuk disiram dan dipupuk. 

Dari segala rasa sakit hatiku, aku memendam semua itu, mencoba melupakannya melalui keseharian yang sibuk, problem kehidupan nyataku, dan bahkan bermain bersama teman-teman sebayaku. Aku berhasil melupakan dia, sejenak, melupakan semua apa yang pernah aku tinggal di belakang. Meninggalkan rasa sakit yang pernah bersarang dalam dada sebab aku keliru menaruh rasa cinta pada seorang pemuda teman kelasku. Setidaknya semuanya baik-baik saja sampai aku mulai membuka hati lagi padanya yang lebih muda, sebelum temanku datang dan berkata penuh kehati-hatian padaku. 

Sebut saja namanya Rumi. Dia cukup dekat dengan ikal. Akhir-akhir ini dia selalu bertanya padaku tentang bagaimana perasaanku sekarang untuk ikal. Aku hanya menjawabnya dengan gurauan. Karena aku tidak ingin membahasnya lama-lama, itu masa lalu, jangan buat aku ingat atau nanti aku akan berkubang lagi pada rasa bingungku

Tapi, rupanya Rumi tadi sore sudah tidak kuasa menahan diri untuk mengatakan kebenarannya. Ia menatapku dalam sambil tersenyum. Lantas kutanyai dia dengan cekikikan. 

"Kamu kenapa, sih? Senyum-senyum ngelihatin aku."

"Engga apa-apa, Mei. Serius aku nanya, kamu masih doain dia apa engga?"

Aku yang ditanyai begitu, langsung konek. "Kamu natep aku seperti ada yang kamu sembunyikan tapi ingin segera kamu sampaikan ke aku."

"Engga apa-apa, aku cuman nanya gitu aja. Jadi, kamu tetep doain dia apa engga? Gimana? Masih suka apa engga?"

Sambil mainin lembar ppt yang bakal diperesentasikan, aku ngejawab dengan mata menerawang, "Yaa, aku engga doain lagi. Ngapain?" kataku dengan senyum kecut. "Toh, kamu kemarin bilang kan ke aku, kalau apa yang selama ini aku rasakan adalah sebuah kebingungan."

"Iya, Mei. Kamu emang cuman bingung itu."

Aku yang mendengar itu cuman senyum pahit. "Terus, kalau itu cuman bingung, maka suatu perasaan yang engga bingung itu yang kaya gimana?" Kataku sambil natep dia dalam. Aku butuh jawaban, sementara dia seolah mempermainkan aku. "Kamu dari kemarin selalu bilang kan sama aku, aku ini bingung. Emang yang engga bingung itu yang kaya gimana? Perasaan yang bener-bener rasa itu yang kaya gimana kalau ternyata selama ini yang aku rasain adalah sekedar kebingunganku?"

"Ya yang engga bingung yg kaya aku. Diem aja."

Aku mendengus. Jawaban yang aneh. 

Dan Rumi tiba-tiba berkata, sambil natap mataku.

"Dzaky ta'aruf sama cewe lain, Mei." Dan saat mendengar kata itu, aku hanya merasa kosong. Maksudku, aku engga tau apa yang aku rasain. "Gimana? Apa kamu masih suka? Makanya aku nanya kamu. Apa ke dia itu masih. Biar kamu engga down."

Ya, aku jawab sejujurnya aku. "Jujur ya, aku biasa aja pas kamu bilang gitu. Maksudku, aku engga tau mau bereaksi gimana. Mungkin karena kita bentar lagi mau presentasi, dan suasananya engga mendukung buat bersedih. Jadi, aku biasa aja."

Rumi hanya tersenyum tipis dan menatapku dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Tapi, selanjutnya aku menambahi. "Tapi, Be." Dia dipanggil Be. "Pas kamu ngomong gitu, rasanya kayak ada banyak pisau yang nusuk ke badanku."

"Rasanya sakit pas denger berita dari kamu."

Aku engga tau harus gimana. Maksudku, ya, sepertinya Rumi selalu benar tentang aku yang suka kebingungan. Dan mungkin benar, aku yang selalu tidak punya pendirian. Dan dia benar tentang aku yang selalu mengejar-kejar. 

Patah hatiku yang kedua kali. Rupanya usahaku untuk melupakan ikal dan segala parasnya yang menenangkan hati adalah sebuah pelarianku yang sia-sia. Nyatanya aku jatuh ketika mendengar kabar itu. Aku merasa rendah sekali, dan mulai membandingkanku dengan calon yang akan mendampingi sisa nafas si ikal nanti. 

Aku meringkuk di kasur, malas sholat, malas makan, dan rasanya ingin melakukan hal-hal jahat lain, melakukan dosa apapun, aku merasa ingin mengotori diriku sendiri, membuat semuanya kacau--aku hancur lagi. 

Patah hati rupanya sesakit ini. Sampai aku lupa bahwa kemarin aku sempat dekat dengan yang lebih muda dan bersedia menemaniku serta ada ketika aku butuh. Bahkan aku mencoba dekat dengan pemuda ini dengan langkah yang penuh hati-hati, karena aku takut kejadian bersama ikal dulu terulang lagi.

Katakan, teman. Aku ini kenapa sebenarnya? Masih menyimpan rasa apa bagaimana? Setiap ingat ikal rasanya sakit sekali. Seperti ada kekecewaanku yang terpendam disana. Seperti ada bekas-bekas diriku yang tertinggal disana, tapi aku susah sekali menghapusnya. 

Tuh, kan. Aku bingung. 

Aku benci dengan diriku yang bingung begini. 

Aku benci dengan sisi diriku yang lemah ini. 

Aku ingin membunuh dan memusnahkan sisi diriku yang bodoh ini. 

Aku muak. 


dan mereka bilang sih katanya gini:

"Demi menyelamatkanmu dari orang yang salah, Tuhan mematahkan hatimu."

dan aku pikir" bener juga sih.

ANGSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang