03. Si kembar dan lainnya

7.7K 1.5K 145
                                    

Grace side

Rasanya aku ingin menghancurkan segalanya. Aku melihat si kembar! Aku melihat Na Jeno dan Na Jaemin! Namun kenapa harus dalam kondisi seperti ini? Aku ingin memanggil mereka, aku ingin menghampiri mereka.

Jeno, Jaemin, lihatlah aku. Kumohon.

Aku sedang kesakitan. Apa kalian tidak ingin menolongku? Apa kalian tidak tahu jika rasa ini begitu menyedihkan meski tidak sebanding dengan apa yang kurasakan disaat aku tahu tentang hilangnya kalian?

"Grace, ada apa denganmu?" Kulihat lelaki yang telah menabrakku terkejut setelah menggeser gorden, menemukan diriku telah menangis.

Aku benci ini.

"Hey, apa kau butuh sesuatu?" Katanya lagi setelah berada persis disampingku.

"Bawa aku pulang kerumah."

Dahinya mengernyit. "Maaf?"

"Aku ingin pulang. Aku benci tempat ini."











—lrv—











Dua hari akhirnya berlalu sejak kecelakaan. Dan aku masih tidak bisa sekadar keluar rumah.

Rasanya aku tidak bisa untuk menghadapi dunia luar. Aku takut, aku trauma. Aku tidak ingin terus terbayang-bayang dengan kehadiran mereka yang telah menghilang. Aku tidak gila, aku tidak ingin dibilang gila.

Ibu belum tahu kejadian sebelum aku keluar dari rumah sakit meski ia dan Mark bertanya-tanya apa yang terjadi. Karena jika kuberitahu, bisa kupastikan ia tidak akan pernah percaya. Ia hanya akan berkata jika itu sebatas ilusi karena masih terus terbayang dengan mereka.

Ayolah, Grace. Jangan terus berada didalam sana. Keluarlah dari labirin itu. Kumohon, meski kau adalah diriku sendiri.

Malam ini aku hanya bisa melihat jalanan raya dari balik jendela kamar. Salju masih menyelimuti jalanan, dan lampu yang berdiri tegap cahanya terlihat semakin remang.

Mungkin, ini adalah cara terbaik agar aku tidak melihat mereka lagi.

Terdiam disini seolah tidak melakukan apa-apa.

"Jisung." Gumamku. "Lalu Jeno dan Jaemin—"


Kreet—


"Grace." Panggil ibu setelah membuka pintu kamar. "Apa kau sudah mengganti perban dikepalamu?"

Kutegapkan badan dari posisi membungkuk pada jendela. "Ya, sudah."

"Bagus. Ibu akan pergi ke minimarket karena kebutuhan sarapan telah habis. Jika kau butuh sesuatu, segera telepon ibu."

Aku mengangguk. "Jangan lama, ini sudah malam."

"Tentu. Ibu pergi dulu."

Kulihat beliau kembali keluar dan menutup pintu kamar. Ibu akan pergi ke supermarket yang letaknya tidak jauh dari rumah kami. Jadi, ini menandakan kalau akan hanya ada diriku dirumah ini.

Aku mendengus, kembali membungkuk untuk memperhatikan jalan diluar sana.

Ibu tampak membuka pagar, lalu menutupnya. Ia segera pergi menjauh ditemani dengan sunyinya jalanan yang juga bersuhu dingin.


Tap, tap—


Aku mengernyitkan dahi.


Itu terdengar seperti suara langkahan kaki, bukan?


Tap tap—


Tap tap tap!


Itu terdengar lebih dari satu orang. Dan aku kian berusaha menajamkan pedengaranku. Sayangnya langkahan itu perlahan menghilang, membuatku berbalik dan mendongak melihat langit-langit kamar yang ada disudut. Disana memang ada pintu kecil yang menghubungkan kamarku dan sebuah gudang kecil diatas kamar.

"Hm."

Bulu kudukku merinding seketika saat mendengar dehiman yang bukan milikku.

Siapa orang yang ada diatas sana? Pintu kecil itu sudah sejak lama tidak dibuka. Dan tidak banyak orang yang tahu selain aku. Bahkan ibu sudah melupakan kehadirannya.


Buk—


Brak!


Pintu kecil persegi itu berhasil terbuka secara paksa.

Oh tidak.

Tuhan, jika memang itu adalah penjahat, aku harap dia tidak akan membunuhku. Tugasku untuk mencari apa yang sebenarnya terjadi masih belum kuselesaikan. Tolong, jangan membuat ia turun dari sana.

Tolong, kumohon.

"Uhuk, uhuk."

Doaku terlambat. Satu kaki telah muncul yang membuatku semakin melemas. Sekadar berteriak meminta tolong rasanya aku tidak bisa. Kini kakinya yang satu menyusul, membuatku menyerah jika memang beberapa menit lagi adalah akhir dari hidupku.

Tidak menunggu waktu lama, ia meloncat dari atas sana dan mendarat dengan sedikit mulus tepat beberapa meter dariku. Tubuhnya membelakangiku, hingga membuatku tidak dapat melihatnya. Begitu sampai dibawah, kulihat dirinya bangkit seraya memperjelas pakaian yang ia kenakan.

Tapi tunggu.

Bukankah kemeja putih bergaris biru itu adalah kemeja yang kudapatkan bersama Zhong Chenle beberapa tahun yang lalu? Topi hitam itu— demi apapun juga, aku menghapalnya sebagai topi kesayangan seseorang yang sangat kukenal.

Ketakutanku perlahan sirna. Bahkan tubuhku dengan sendirinya bangkit secara perlahan untuk mendekatinya. Nampaknya ia menyadari jika aku sudah ada tepat dibelakangnya. Ia pun terlihat menyampingkan wajah, agar aku dapat melihat side profile miliknya.

Kuperhatikan secara seksama bentuk wajahnya. Mata itu, hidung mancungnya— tidak. Ini tidak mungkin. Bahkan saat aku memutuskan untuk mengisolasi diri dari dunia luar, mereka yang lain kembali muncul dihadapanku.

Badanku seperti tidak menapak saking lemasnya. Tidak bisa terbayangkan dibenakku apa maksud dan tujuan dari mereka yang sebenarnya.

Langkahku kembali mundur, sembari memegangi dahi lantara merasa lebih dari terkejut.

Akhirnya ia berbalik dengan sepenuhnya. Memperlihatkan dirinya yang membuatku semakin terkejut bukan main. Kepalaku terasa semakin sakit. Aku tidak bisa menahan semua rasa ini.

"Grace, ini aku."

"Tidak mungkin."

"Sudah sejak lama."

"Injun—"

Lelaki itu mendekat padaku. Namun sepersekian detik kemudian aku tiba-tiba saja terjatuh tidak sadarkan diri.


To be continue

[I] THE DREAM ✓Where stories live. Discover now