08. Dekat denganmu

5.9K 1.2K 237
                                    

Hampir setengah jam aku habiskan bersama Mark, si lelaki ramah yang banyak membantu. Setelah akhirnya aku dan dia tiba dirumah, aku terlebih dahulu melangkah didepannya untuk membuka pintu rumah. "Aku pulang." Ujarku agar ibu mengetahui kepulanganku. Tiba-tiba saja, seseorang berseru dari dalam dapur rumahku. "Grace!"

"Yangyang."

Liu Yangyang sepupuku reflek menghampiri begitu tahu kalau aku sudah kembali. "Darimana saja kau?"

"Maaf, aku baru saja membeli seledri dan keju. Ah, apa kau sudah menunggu lama?"

"Tidak juga, hehehe. Tapi dia—" kalimat Yangyang terdengar menggantung sembari menatap Mark bingung.

"Kenalkan, dia Mark."

Otomatis Mark menyimpan belanjaanku yang ia bawakan agar bisa mengulurkan tangan pada Yangyang. "Mark."

"Yangyang. Senang bertemu denganmu."

Mark mengangguk, membuat sesi perkenalan mereka terlihat begitu berjalan lancar.

Kulihat ibu keluar dari dapur sambil melepas apron yang dikenakannya. "Oh, kalian datang secara bersamaan rupanya. Kemari, makanannya sudah siap."

Angguk kami bertiga lalu berjalan bersama kedalam ruang makan.











—lrv—











Sudah belasan menit kami habiskan bersama ditempat ini. Aku merasa senang. Entahlah, bahagiaku bertambah, setelah sekian lama rumahku kembali ramai karena didatangi Mark dan Yangyang. Tetapi disisi lain aku masih terpikirkan dengan kondisi sahabatku yang berada digedung Le Reve.

Sedaritadi, Yangyang terus menceritakan tentang pengalamannya di Macau dan Jerman. Aku terkagum dengan dirinya yang dengan mudah beradaptasi dilingkungan terbilang baru untuknya. Yangyang pun telah tahu jika diriku baru saja mengalami kecelakaan. Tetapi dia belum juga sadar jika penabrakku waktu itu berada tepat disampingku.

Aku dan ibu sesekali tertawa menanggapi cerita-cerita Yangyang. Lelaki ini tahu bagaimana diriku bisa terhibur karenanya. Dan tidak lama setelah itu, aku tidak sengaja melihat Mark sedang mengamati sebuah foto yang tergantung disamping lemari.

"Itu aku dan ayahku." Kataku setelah Yangyang selesai dengan ceritanya, membuat ibu dan Yangyang menoleh padaku. Aku menghela nafas secara bersamaan dengan Mark yang sedikit terkejut saat tahu jika aku memperhatikannya. "Kau pasti bertanya-tanya kemana dia, bukan?"

"Ah, maaf. Aku sudah tidak sopan karena terus mengamati foto itu."

Aku menggeleng. "Itu adalah hal yang wajar. Dia ada didalam sana, namun tidak bersama kita disini."

Kurasakan suasana disekitarku perlahan sunyi.

"Ayah pergi setelah bercerai dengan ibu."

Ya.

Kedua orangtuaku telah bercerai sewaktu aku masih kecil. Ketika mengenang hal seperti itu, aku rasanya seolah kembali pada waktu yang menyesakkan itu. Ayah adalah seorang konglomerat, mempunyai harta dimana-mana, juga sangat menyayangiku. Namun itu semua berubah dalam waktu yang singkat. Diusia belia aku sudah tahu apa itu perceraian. Apa itu rasanya ditinggalkan oleh ayah kandungku sendiri demi orang lain.

Namun diriku patut bersyukur mempunyai ibu yang tegar. Yang membawaku kedalam lingkungan ini. Lingkungan dimana aku bisa mengenal Renjun, Jeno, Haechan, Jaemin, Chenle dan Jisung. Orang-orang yang begitu mempunyai banyak waktu untuk dihabiskan bersamaku.

Ah, aku kembali merindukannya. Sangat merindukannya.

"Oh, astaga."

Aku menyadari kalau mungkin hanya akulah yang terlalu sering mengenang hal-hal lama. Aku tertawa bodoh dan mengusap air mata. Kurasakan Yangyang meraih tanganku dan mengusapnya. "Kau telah melalui semuanya. Kau luar biasa." Ujarnya kembali menyemangatiku.

Ibu menyetujui perkataan Yangyang, sementara Mark ikut melengkungkan bibirnya tipis, juga mengangguk seolah ikut melakukan hal yang sama dengan keluargaku.











—lrv—











Setelah acara makan bersama kami selesai, Mark pergi untuk kembali bekerja, aku dan Yangyang sendiri memilih bermain game bersama dikamarku. Sejujurnya, hanya dia saja. Karena aku sibuk memikirkan sesuatu.

Yangyang terus bersorak, sementara diriku sebatas mengikuti pergerakannya.

"Apa itu?" Tanya Liu Yangyang.

"Apanya?"

"Apa yang mengganggumu?"

"Hm, tidak ada."

Kulihat Yangyang menekan tombol pause pada sticknya dan beralih menghadapkan diri padaku. Ia seolah menghisap banyak udara sekitar dan memulai suasana yang begitu serius. "Cepat, katakan itu."

Apa aku harus memberitahunya?

"Oh ayolah."

"Yangyang, apa kau ingat dengan sahabatku yang menghilang dua tahun lalu?"

Lelaki Liu ini nampak mengernyitkan dahi. "Um, tidak lagi."

"Aku merindukan mereka, aku ingin bertemu dengan mereka." Tetapi sebenarnya aku sudah melakukan itu. "Apa menurutmu mereka masih hidup?" Tanyaku berusaha untuk melihat respon Yangyang terhadap pertanyaan seperti ini.

Sejujurnya, aku dan Yangyang baru saja dekat tepat sebulan sebelum keenam sahabatku menghilang. Dulunya Yangyang tinggal di Jerman karena dia lahir disana. Barulah, setelah tragedi itu terjadi, Liu Yangyang selalu mengunjungiku dan menghiburku meski dia harus kembali ikut dengan orang tuanya ke Macau.

Hal tentang Yangyang yang kulamunkan tiba-tiba memudar tatkala kudapati wajahnya perlahan mendatar. Aku tidak ingin tebakanku benar. Namun dengan jelas jika Yangyang tidak suka dengan perkataanku yang terakhir. "Ada apa?"

"Sudahlah, kau tidak mestinya berlarut seorang diri dalam hal seperti ini. Lupakan mereka, itu hanya menyiksamu." Ujar Yangyang sembari bangkit dan berbaring diranjangku. "Anggap saja mereka sudah tidak ada."

Aku sedikit tersenyum kecut menanggapinya. Apa itu terdengar sangat mustahil?


"Aku punya alasan, Grassie."

"Ini semua demi dirimu."

"Dan ia dekat denganmu. Ia hampir mendapatkanmu."


To be continue

[I] THE DREAM ✓Where stories live. Discover now