09. Wound will stay

5.1K 1.1K 119
                                    

Pukul 2 dini hari, aku dengan percaya dirinya memberanikan diri keluar dari dalam rumah secara diam-diam. Ibu sudah terlelap dikamarnya, begitu juga dengan Yangyang yang berada didalam kamar tamu. Tidak dengan tangan kosong, aku membawa beberapa makanan ringan untuk kuberikan pada mereka.

Setelah berhasil keluar dari rumah dengan mengendap-endap semaksimal mungkin, segera kulangkahkan kaki melewati rumah-rumah yang beberapa diantaranya hanya menyalakan lampu dibagian luar. Tentu, sebagian besar orang lebih suka dengan kondisi gelap disaat mereka terlelap.

Ah, lupakan tentang hal itu.

Tidak menunggu waktu lama, kini langkah kakiku sudah berada tepat didepan Le Reve. Sempat diriku menatap gedung usang itu sembari bernafas tersengal dengan asap tipis yang keluar dari mulut. Memang menyeramkan, namun itu tidak cukup menyeramkan agar mengurungkan niatku. Tanpa basa-basi, aku kembali memasukinya dan dengan cerobohnya, pergelanganku sampai tergores oleh kawat yang berserakan. Ah, terlalu gelap. Jadi aku tidak begitu memperhatikannya.

Kulihat seberkas cahaya yang secara tiba-tiba menyorot dari dalam gedung. Kusempatkan untuk menunggu si pemilik cahaya yang lumayan terang ini, dan saat orang yang menyorotku muncul, ternyata dia adalah Lee Haechan. "Apa yang kau lakukan dipagi buta seperti ini?"

"Hanya ingin berkunjung."

"Tapi lebih baiknya tidak pada waktu seperti ini. Bagaimana jika seseorang mengintai dirimu?" Ujarnya dengan suara yang lembut sambil menarik tanganku untuk bisa masuk bersamanya. Sisi peduli Haechan tidak pergi seperti ingatannya. Tanpa ia sadari, begitu menoleh kedalam gedung aku tersenyum. Chan, apa kau masih gemar membuat candaan seperti dulu? Aku harap itu tidak akan pernah pergi juga darimu.

"Hanya saja—"

"Bergegas masuk. Bahaya jika ada yang melihat kita." Sambungnya sembari mengarahkan lampu senter kedepan kami. Aku mengangguk, terus ikut dibelakangnya dengan tidak secepat tadi. Seperti biasa, kami harus melewati lantai satu yang sangat gelap, eskalator rusak, dan dinding-dinding yang catnya sudah mengelupas yang menjadi pembatas menuju ruang teater.

Haechan membawaku kesebelah ruang teater yang rasanya lebih tersembunyi, bahkan aku sampai bisa mendengarkan teresan air. Didalam sana, diriku lumayan kagum.

Kutemukan ruangan yang lebih bersih dengan penerangan —meski sangat minim, serta enam ranjang sederhana dengan beberapa diantara sudah terisi oleh mereka yang tidur. Ada lagi dua lemari berukuran sedang, serta alat memasak seadanya. "Apa, kalian bertahan dengan ini semua?"

"Tentu." Jawab Haechan sambil memadamkan lampu senter. "Kami harus mengakali dan mengumpulkan semuanya selama hampir sebulan."

"Bagaimana dengan mandi?"

Haechan menunjuk sebuah ruangan kecil lagi yang terletak disudut. "Beruntungnya, gedung ini mempunyai kamar kecil dengan air bersih yang tidak berhenti mengalir."

Baiklah, aku sangat berterima kasih pada keadaan karena setidaknya aku bisa sedikit lega setelah melihat cara mereka bertahan ditempat seperti ini.

"Kami adalah survivor yang hebat, Grassie." Ujar seseorang lainnya yang baru keluar dari kamar kecil. "Dan kau tentunya tahu itu."

"Pelankan suaramu, Jun. Kau bisa saja membangunkan mereka." Tegurku dengan suara yang nyaris berbisik.

"Tenang saja. Telinga mereka kebal untuk suara seperti ini. Apa kau tidak ke supermarket, Chan?"

"Mungkin untuk hari ini tidak. Kedatangannya seolah menahanku untuk pergi. Sedikit khawatir." Ujar Haechan dengan memaksudkan diriku, lalu meraih sekantung makanan yang kusodorkan. "Juga Grassie membawa penolong yang lebih dari cukup."

"Untuk apa kau pergi diwaktu seperti ini?" Tanyaku.

"Agar tidak ada orang yang mengenali kami. Kau mengerti? Meski begitu, kami harus tetap berhati-hati. Wajah kami pernah tersebar dimana-mana sebagai orang hilang, kan?"

Ah, itu benar.

Haechan pun meletakkan senter tadi diatas sebuah nakas dan beralih pada sebuah ranjang. "Aku akan melanjutkan tidurku." Lalu berbaring dengan membelakangiku juga Renjun.

Cukup lama aku terdiam melihat mereka semua berada ditempat seperti ini, yang membuatku pun spontan menghela nafas. "Aku sedih melihat kalian seperti ini."

"Tidak, Grassie. Kami baik-baik saja." Respon Renjun membuatku menoleh padanya. "Jangan terlalu mengkhawatirkan kami. Hm?"

Aku ingin berkata ya, tapi dehimannya mengingatkanku pada hari itu. "Oh, tidak. Apa itu benar-benar kau?"

"Apanya?"

"Malam itu, kau ada didalam kamarku setelah berjalan dari atas gudang. Dehimanmu terdengar jelas."

Renjun menggigiti bibir bawahnya dan menunduk. "Maaf telah membuatmu ketakutan. Usai Park Jisung memberitahu kalau ia berlari karena ada seorang gadis sepantaran kita yang mengenalinya, aku langsung tahu jika itu dirimu. Jadi kuputuskan untuk menghampirimu lewat sana."

"Kau masih ingat dengan pintu yang satunya, bukan?"

"Tentu. Pintu yang terletak disamping cerobong rumahmu." Sambung lelaki itu kemudian memincingkan mata melihat tanganku. "Oh tidak— tanganmu terluka."

"Ah, ini hanya luka ringan."

Renjun menggeleng. "Darahnya sudah lumayan mengalir, Grassie." Kulihat ia mengambil selembar kemeja diatas ranjang kosong dan dibalutkan pada tanganku yang terluka. "Berhati-hatilah. Kau masih saja ceroboh."

"Maaf."

"Ada apa ini?"

Aku dan Renjun reflek menoleh, menemukan Jaemin tengah terduduk dengan wajah bantalnya yang masih terkantuk-kantuk. Tidak lama kemudian, satu persatu lelaki itu tersadar, merasa sesuatu telah terjadi. Bahkan Haechan yang beberapa menit lalu baru saja membaringkan tubuhnya ikut menoleh.

"Ah, hanya—"

"Tangannya terluka."

Saat itu juga wajah Jaemin terlihat sadar sepenuhnya dan bangkit, melangkah menghampiri kami. "Parah?" Aku menggeleng. "Tanganmu yang satunya." Pintanya sambil meraih tanganku. Dahinya mengerut, mendapati sesuatu dipergelanganku.

"A-aku—"

"Grassie, ada apa dengan tanganmu? Ini tidak tampak seperti luka kecelakaan."

"Apa kau berusaha membunuh dirimu sendiri?"











To be continue

[I] THE DREAM ✓Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt