21. Smooth as silk

3.6K 889 148
                                    

"Grassie."

Sayup-sayup, kudengar suara seseorang yang berusaha membangunkanku dari tidur jangka panjang ini.

"Grassie?"

Aku melenguh, ikut menjawabnya dengan perlahan membuka mata. Hal pertama yang kutemukan ialah Huang Renjun, sedang meletakkan tangannya didahiku usai meraih sebuah handuk kecil dari sana.

"Kau masih sakit. Apa kau merasakan hal lain?"

"Hanya sakit kepala."

Renjun mengangguk, menyibakkan anak rambutku. "Kau harus makan." Katanya sembari meraih sebuah mangkuk dari atas nakas. "Jaemin membuatkan bubur untukmu. Minum air terlebih dulu sebelum makan." Sambungnya sambil menyodorkan segelas air putih.

Aku berusaha bangkit dengan sedikit bantuan lalu bersandar. Awalnya ingin kuraih bubur buatan Jaemin tetapi Renjun menolaknya. "Biar aku yang menyuapimu."

Kuanggukan kepala pelan, berusaha meneguk air yang diberikan Renjun. Setelah itu aku menghela nafas dan memakan bubur yang disuapkan Renjun. Kami hanya diam, tidak mengobrol seperti biasa. Ah, lebih tepatnya aku yang lebih banyak terdiam, lantaran rasa pening nyaris hebat yang betah melanda kepalaku. Beruntung, Renjun dengan sabarnya ingin menungguku menelan semua makanan yang masuk kedalam mulutku.

Anggap saja karena merasa tidak enak, aku akhirnya mencari pembahasan ringan agar Renjun tidak merasa bosan. "Kemana yang lain?"

"Haechan ada dilantai bawah, menunggu cokelat untukmu hangat. Sisanya kembali kegedung."

"Ah, seperti itu."

Secara bersamaan pintu terbuka, memperlihatkan Haechan dengan sebuah gelas ditangannya. Ia menghampiri kami, dan meletakkan gelas tersebut diatas nakas. "Minum setelah makan."

"Eung, terimakasih."

Haechan mengangguk, kini berjalan menuju kursi belajarku. Sebelum ia duduk, Renjun terlebih dulu berkata, "apa kau sudah mengunci pintu?"

"Aku kira itu bagianmu?"

"Lee Haechan, aku sudah memberitahumu jika itu tugasmu."

"Hm, baiklah. Aku akan kembali kebawah." Balasnya sembari mendekati pintu kamar.

"Grace unnie!" Teriak seorang Lee Haejung dengan suara nyaring membuat kami bertiga terkejut secara bersamaan. Reflek Renjun meletakkan mangkuk buburku dan bersembunyi dibawah ranjang, sedangkan Haechan memilih bersembunyi disamping lemari yang menyisakan sedikit ruang diantara dinding.

Tidak lama kemudian Haejung muncul, dengan wajah cerianya memasuki kamar dan menghampiriku.

"Unnie!"

"Ah, Haejunga."

Haejung berusaha menaiki ranjang dan duduk dihadapanku. "Kenapa? Apa kau sakit?"

"Tidak, aku baik-baik saja." Bohongku.

"Mmm—" gumam Haejung seraya mengedarkan pandangannya. Detik ini, jauh dilubuk hatiku aku berharap kalau Haejung tidak akan menemukan kakaknya yang berada tepat dibelakangnya. "Unnie, apa kau mau ikut menjenguk?"

Aku mengerutkan dahi. "Menjenguk?"

"Ya. Aku, ayah dan ibu akan menjenguk orang itu. Ibu pun mengajakmu."

Benar juga. Aku harus melihat kondisinya yang masih terbaring di rumah sakit akibat peristiwa kemarin. Ajakan Haejung lantas kusetujui yang membuatnya merasa sangat senang.

"Kau ingat perkataanku kemarin, bukan? Mulai sekarang kau adalah kakakku."

"Kenapa berkata seperti itu?"

Haejung menunduk. "Kau sudah tidak punya siapa-siapa, dan aku kehilangan kakakku yang kurindukan."

Seandainya saja aku bisa memintamu untuk berbalik, melihat Lee Haechan yang sedang menatapmu pilu, ingin memelukmu. Tetapi belum saatnya, kau mungkin masih harus menunggu, Lee Haejung.

"Ibu masih sering menangis mengenangnya. Semalam, ia tidak bisa tidur karena khawatir padamu yang merasakan apa yang dulu ibu rasakan."

Sesekali kulirik Lee Haechan yang berusaha membendung tangis. Aku ingin tahu, meski ia lupa, namun apa saja yang Renjun beritahukan padanya hingga ia terlihat begitu lirih? Aku harap, itu adalah nalurinya sebagai seorang kakak yang sedang merindukan keluarganya yang dulu.

"Unnie, kau perlu bersiap-siap. Aku juga. Oke?" Ujarnya yang mengundang anggukanku. "Aku akan menunggumu."

"Ya. Hati-hati jika kau menyeberang."

"Baik." Balasnya dan berjalan meninggalkanku. Setelah menunggu beberapa saat, Renjun serta Haechan akhirnya keluar dari persembunyian mereka. Tidak seperti sebelumnya, kini Haechan nampak sangat sedih.

"Chan."

"Tidak apa-apa." Katanya dengan mengusap sudut mata. "Hanya merasa merindukannya."

Waktu itu, Lee Haejung masih cukup kecil saat Lee Haechan dinyatakan menghilang bersama yang lain. Meski begitu, seiring berkembangnya waktu, Haejung masih sering mencari Haechan sampai sekarang. Maklum saja, mereka berdua adalah kakak beradik yang sangat dekat.

"Bersiaplah, dia menunggumu." Tambah Haechan tanpa melihatku. "Jun, kita kebawah saja selagi Grassie bersiap-siap."

Kudapati Renjun dengan raut ragunya, namun sesaat setelah dia memutuskan untuk mengikuti perkataan Haechan agar berpindah kelantai bawah.











—lrv—











Kini diriku telah berada dimobil Keluarga Lee yang memasuki area rumah sakit. Kudengar lukanya membuat ia tumbang sampai hari ini. Tidak bisa kubayangkan, seberapa dalam tusukan itu.

Usai turun dari mobil, Haejung meraih tangan kananku dan membuat langkah kami bersejajar masuk kedalam rumah sakit. Ruangannya tidak begitu sulit ditemukan, bahkan perawat tidak begitu banyak berbicara saat mengantar kami.

Sesampainya didepan kamar, kudapati beberapa pengawal yang membuatku dan Haejung kebingungan. Setelah kuingat-ingat, tampaknya Mark memang adalah seseorang yang penting. Dirawat seperti ini bahkan membutuhkan beberapa orang untuk menjaganya diluar kamar.

Para pengawal itu mengizinkanku dan Keluarga Lee masuk kedalam kamar. Kulihat Mark sedang bersandar dan mengarahkan pandangannya pada sebuah tontonan ditelevisi. Aku berdehim, membuatnya langsung menoleh.

"Oh, Grace." Sapanya dengan tersenyum. "Ah, kau tidak perlu repot untuk datang."

"Tidak. Seharusnya aku memintamaaf karena baru menjengukmu."

Mark menggeleng pelan, menjaga luka diperutnya. "Aku paham dengan kondisimu. Apa kau baik-baik saja?"

"Tentu."

Mark kemudian melihat Keluarga Lee yang ikut mendampingiku untuk datang kesini. Mereka tidak mengobrol banyak, sebatas mengharapkan kesembuhan untuk lelaki ini. Aku sedikit cemas lantaran mengingat jika seluruh rasa curiga telah menuju pada sepupuku sendiri. Aku ingin memintamaaf meski aku pun bingung akan memulainya dari mana.

"Ada apa diluar kamarmu?" Tanya Lee Haejung polos dengan memaksudkan para pengawal itu.

Mark kembali mengukir senyuman sebelum menjawab. "Ibuku khawatir. Lantaran beliau masih ada diluar negeri, ia meminta orang perusahaan miliknya untuk menjagaku."

"Wah, kau pasti adalah anak kesayangannya." Puji Ibu Lee.

"Ah, tidak juga. Sewaktu kecil aku adalah anak yang nakal."

Aku mendengus. "Itu adalah hal yang wajar."

Disaat kami sedang mengobrol, tiba-tiba seorang petugas kepolisian masuk kedalam kamar, menyita perhatian kami. Mark spontan bertanya, "ada apa?"

"Kami hanya ingin memberi laporan, bahwa terdakwa resmi kami tahan atas tuduhan penyerangan kepada anda."











—Maaf, sebagian naskah telah dihapus untuk kepentingan penerbitan—

[I] THE DREAM ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang