25. Bonne nuit

3.7K 874 152
                                    

Dijam sebelas malam, rumahku kembali terasa sunyi. Keenam sahabatku sudah tidak lagi bersua lantaran tengah terlelap dikamar ibu dan kamar tamu. Sedangkan aku baru saja berniat keluar dari dapur setelah menyiapkan bahan sarapan untuk besok. Aku tidak ingin mereka terbangun dengan kondisi kelaparan dan harus menunggu, apalagi berniat kembali ke Le Reve.

Selepas mempersiapkan bahan-bahan, aku berjalan untuk kembali kelantai atas dan beristirahat. Tetapi sebelum itu, langkah terhenti tepat didepan kamar tamu yang dihuni oleh Haechan, Chenle serta Jisung. Mereka terlihat tidur nyenyak dan kupandangi melalui celah pintu yang terbuka.

Aku merindukan Liu Yangyang secara tidak sengaja. Kurindukan ia yang dulu, yang jauh sebelum peristiwa kemarin terjadi.

Lambat laun, aku menggeleng guna membuyarkan lamunan, seraya berusaha untuk tidak memikirkan hal ini.

Aku pun melangkah lagi menuju lantai atas. Saat mendorong pintu kamar, aku menemukan Huang Renjun yang tengah memeluk kedua kakinya diatas ranjangku sambil memandangi bulan diluar sana melalui jendela yang terbuka. Aku menghampirinya, lantas menepuk pundaknya.

"Sedang apa?"

Ia menoleh dan menggeser tubuhnya lalu menepuk-nepuk ruang kosong yang ada disebelahnya. "Aku tidak bisa tidur. Jadi aku kesini, ingin melihatmu apa sudah tidur, dan ternyata kau tidak ada."

"Ya, aku baru saja menyiapkan bahan untuk sarapan besok." Balasku sambil duduk disebelahnya.

Renjun mengangguk paham. Usai diriku ikut duduk berdampingan, ia memandangiku dengan satu tangan yang menyangga rahangnya.

"Ada apa?" Tanyaku.

"Tidak, hanya melihatmu."

Aku mendecih sebelum terkekeh. "Ada apa ini?"

"Tidak, hanya saja—" katanya dan menggantungkan kalimat tersebut.

Aku mengerutkan kening lantaran tidak menemukan jawaban yang pasti. Kudapati raut wajahnya yang kian berubah akibat melamun, yang bisa kusimpulkan kalau Renjun sedang tidak baik-baik saja. "Injun." Panggilku. "Ada apa?"

"Grassie, apa aku bisa berkata jika kini aku sedang lelah?"

"Tidak, Jun. Tidak. Kau berhak lelah setelah menjalani semua ini. Kenapa kau tidak beristirahat saja?"

"Tidak bisa tidur." Ulangnya.

Aku terdiam menatapinya yang kini memandangi bulan dengan tatapan kosong. Angin malam yang berhembus kian menyapu kulit ditengah kami yang sedang memikirkan kondisi yang harus dihadapi saat ini.

Begitu mengingat kembali, sosok Huang Renjun yang dibesarkan disebuah panti.  Anak kecil yang tumbuh sebagai lelaki mandiri, pemberani, dan sangat peduli dengan sesamanya. Diantara kami bertujuh, ia selalu berpikir dewasa dengan selalu menjadi seseorang yang menjaga kami.

Aku mengerti kenapa ia lelah. Sudah 20 tahun lebih ia hidup dan yang seharusnya Renjun menikmati masa-masa indahnya, ia malah harus menghadapi hal-hal sulit seperti ini. Aku tidak mengerti kenapa ia bersikeras untuk bertahan hingga semuanya terungkap.

Dan itu demi diriku.

"Injun."

Ia menoleh, menatapku.

"Terima kasih karena kau ada."

Perlahan ia tersenyum.

"Terima kasih kau telah menjadi bagian dari hidupku. Namun, aku ingin menanyakan sesuatu. Jika saja kau kembali terlahir, apa kau ingin menghindari semua ini dan hidup menjadi lebih baik?"

Renjun menggeleng.

"Eung? Kenapa?"

"Apapun itu, aku bersyukur. Tuhan memberikanku perempuan indah sepertimu dalam hidupku."

Hatiku tercelos sesaat mendengarkan penuturannya.

"Grassie, kau manis, kau baik, kau ceria, kau kuat. Apapun mungkin bisa kulakukan jika kembali terlahir. Tetapi aku tidak yakin bisa mendapatkan orang lain sepertimu." Tambahnya membuatku membisu. "Aku juga menyayangi kelima sahabat kita yang lainnya. Mereka benar-benar seperti saudara bagiku. Dan kau, entah sejak kapan rasanya telah berbeda."

Dahiku sontak mengerut. Berbeda? Berbeda apanya?

"Eum, itu, aku—"

Aku terheran melihatnya yang tiba-tiba saja gugup dengan telinga yang memerah. Tiba-tiba terbersit dimemoriku saat dimana seorang Renjun kecil menghampiriku dengan sebatang cokelat ditangannya, lagi.

"Ah, pantas saja kau tidak ada dikamar."

Aku dan Renjun reflek menoleh kebelakang, menemukan seorang Na Jeno tengah bersandar diambang pintu dengan tangannya yang menyilang. Tiba-tiba saja Renjun bangkit dan turun dari ranjangku. "Aku akan segera tidur." Dan dengan cepatnya berjalan keluar dari kamar.

Jeno menatapku heran, yang kubalas dengan mengendikkan bahu. Tidak lama kemudian Jeno mendengus lalu berkata, "agit-il maladroitement (apakah ia sedang canggung/salah tingkah)?"

"Huh?"

"Ah, tidak."

"Ya, Na Jeno. Jangan menggunakan bahasa Prancis sesukamu."

Jeno tersenyum sambil mengusap puncak kepalaku. "Aku suka dan biasanya tidak sadar mengatakannya. Oh, ini—" ucapnya dengan menunjuk lukisan Renjun yang tempo hari diberikan padaku.

"Iya, itu karya Injun."

"Sudah kuduga, untukmu." Jeno mengulum senyum tipisnya dan beralih keluar dari kamarku.

"Jeno." Kataku menghentikan langkahnya. "Apa bisa kau simpan lukisan ini diruang tengah?"

Jeno mengangguk. "Tentu." Kemudian ia meraih lukisan tersebut dan perlahan menjauh. "Tidurlah, ini sudah sangat malam. Bonne nuit (selamat malam)."


A little bit more, stay tune

[I] THE DREAM ✓Where stories live. Discover now