22. Teror untuk ibu

3.6K 868 145
                                    

"Semuanya akan baik-baik saja."

Kutatap sorot mata Mark yang begitu sayu, dia terus berkata semuanya akan baik-baik saja. Dia terus meyakinkan bahwa segalanya tidak akan lebih rumit.

Benarkah? Apa semuanya baik-baik saja itu akan terjadi padaku? Atau itu hanya sekadar penenang agar aku bisa bernafas lega dan terus melangkah melewati tanjakan-tanjakan yang curam ini?

Ruangan ini terasa sunyi sesaat, kami semua saling terdiam. Butuh waktu nyaris semenit, aku memikirkan sosok Yangyang yang terus bungkam disana. Hingga aku kembali menatap petugas, agar ia bisa melanjutkan informasinya.

Petugas tersebut kembali menambahkan. "Kami juga memperoleh informasi, jika ia merupakan anak yang diadopsi empat tahun lalu. Dengan itu kami memutuskan untuk ikut menggali kebenaran sebelum ia diadopsi."

Tunggu.

"Adopsi?"

Petugas mengangguk membenarkan pendengaranku barusan, yang membuatku semakin merasa jika udara bahkan akan dengan mudahnya menghempasku. Bodohnya aku baru mengetahui semuanya sekarang. Kebenaran jika Liu Yangyang adalah anak adopsi dan menandakan kalau dia tidak mempunyai hubungan darah denganku.

"Grace." Panggil Ibu Lee dengan memegangi kedua bahuku. "Apa kau baik-baik saja?"

Aku hanya bisa memandangi Ibu Lee kosong, tanpa merespon sedikit pun.

"Apa kau ingin pulang?"

"Mu-mungkin."

"Baik, baiklah." Ibu Lee mengusap punggungku lembut untuk memberikan ketenangan. "Kita pulang sekarang."

Kuangguki perkataannya dengan jiwa yang kembali merasakan seisi dunia layaknya membuangku ditempat yang sangat hampa. Aku tidak bisa menebak semuanya dengan baik. Bahkan saat diriku berjalan dengan bantuan menuju mobil Keluarga Lee bersama kebingungan ini. Rasa terkejutku kian menjadi, seperti menusuk organ penting untuk hidup dengan begitu keras.

Tidak ada kata-kata yang bisa kuucapkan. Hanya pikiran yang terus berjalan dikepalaku. Lee Haejung sendiri memilih bersandar ditanganku, selagi diriku bersandar pada jendela mobil. Semakin lama, pikiranku membuat kepalaku terasa sangat berat. Sepersekian detik berlalu, mataku kian menutup. Dan tidak lama setelah itu, jalanan luar yang menjadi objek tatapanku menjadi gelap gulita dengan sendirinya.











—lrv—











Kini suara langkahku terdengar saat memasuki rumah usai dentingan bel pintu berbunyi. Aku kembali lelah, lagi dan lagi. Semuanya hanya soal berpikir dan menangis, tetapi mengapa diriku tidak kunjung menjadi sangat kuat untuk menghadapinya?

Tak terasa, aku telah berjalan masuk kedalam kamar mendiang ibu. Kunyalakan lampunya agar kegelapan buru-buru menjauh, lalu aku kembali menapak menuju ranjang dan bersandar disana. Kuhirup aroma ibu yang masih tertinggal, membuatku kembali menitikkan air mata karena sangat merindukannya.

Kacau, semuanya menjadi kacau.

Kuusap kembali air mata dengan kasar, lalu menyambar laci yang berada tepat disamping ranjang. Tidak sengaja kujatuhkan sebuah buku yang terdapat beberapa lembaran kertas didalamnya. Aku terdiam, memandanginya sebentar dan mendengus. Kupikir itu hanyalah nota belanjaan atau pembayaran bulanan yang telah disimpannya.

Tapi ternyata bukan.

Tanganku meraih semua kertas-kertas itu dan mengeceknya satu persatu. Itu seperti tulisan tangan yang ditujukan untuk ibu. Dahiku mengerut, tatkala melihat disetiap helai hanya terisi dengan satu kalimat ancaman. Semakin kubaca, semakin aku kembali merasa ketakutan.

Sontak, kubuang semua kertas-kertas tersebut kelantai. Aku ketakutan, aku semakin gelisah. Ibu telah menyembunyikan semua teror ini dariku. Bahkan aku baru mengetahuinya disaat ia telah tiada.

Apa orang itu ada disekitarku?











—Maaf, sebagian naskah telah dihapus untuk kepentingan penerbitan—

[I] THE DREAM ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang