27. Dia datang

3.8K 898 209
                                    

—Maaf, sebagian naskah telah dihapus untuk kepentingan penerbitan—











"Tidak apa-apa, kerja yang bagus. Kau mengusir orang tadi. Tidak apa-apa." Ujar Jeno yang menepuk pelan puncak kepalaku. "Keluar dari sana, dan minum air putih. Gelas di tangan Chenle terlihat kosong."

Aku mengangguk, keluar dari bawah wastafel bersama Chenle. Kini tangan Renjun beralih menggenggam pergelangan tanganku untuk membawaku keluar dari dapur. Park Jisung sendiri tengah mengintip keluar jendela, memastikan apa orang tadi masih ada. "Tampaknya dia sudah pergi."

"Jisungie." Panggil Jaemin. "Bantu hyung membuat sarapan."

Jisung berdecak kesal.

"Apa kau mau melihat noona dan semua hyung-mu kelaparan, huh?"

"Biar aku yang membantumu." Tawarku setelah mengingat jika seharusnya aku yang menyiapkan sarapannya.

Dengan cepat Jisung mencegatku dengan merentangkan tangannya. "Biar aku saja. Noona menunggu."

"Semalam—"

"Eung, eung. Tidak. Injun hyung, bawa dia keluar."

Injun hyung, katanya.

Renjun mengangguk setuju dan perlahan menarikku pergi dari dalam sana. Aku hanya bisa menyerah dengan mereka yang memaksaku untuk keluar, berjalan ke ruang tengah lalu duduk disana. Renjun menggeser sebuah kursi yang menjadikan dirinya duduk berhadapan denganku.

"Apa kau baik-baik saja?"

Ah, pertanyaan itu.

Sejujurnya, aku merasa gila dan bodoh karena tidak mengerti tentang rasa apa yang sedang hinggap dalam diriku ini. Aku berpikir, tentang bagaimana aku tadinya sangat terkejut akan kebohongan mereka semua, disusul bayangan tadi yang seakan datang dengan maksud untuk memukul batinku secara bersamaan.

Yang ada dibenakku hanyalah, ya sudah. Itu sudah terjadi. Kedepannya aku mungkin hanya harus mencari tahu. Meski aku sendiri tidak tahu harus memulainya darimana.

"Grassie."

"Hm?"

"Kau lelah?"

"Sudah sejak beberapa hari terakhir, Jun."

"Apa kau masih merasa aman disini?"

Ini rumahku. Tempatku menetap sejak kecil. Dan jawabanku adalah, tidak. Aku terus merasakan hal yang membuatku gelisah. Tidak bisa kuhentikan barang sehari saja.

"Apa kita perlu ke Le Reve?"

Aku menggeleng. "Aku rasa ibu Haechan akan mencariku jika aku tidak ada di rumah. Aku takut orang-orang akan khawatir lagi."

"Namun wajahmu berkata jika kau ingin pergi."

"Jun—" lirihku yang tiba-tiba saja ingin menangis. "Apa yang harus kulakukan sekarang?"

Renjun segera meraih diriku, tidak lupa untuk menepuk-nepuk punggungku. "Bukan aku, tapi kita. Apa yang harus kita lakukan? Itu akan terkuak. Untuk sekarang, aku dan yang lainnya masih masih harus memikirkan kedepannya harus bagaimana."

Akhirnya aku benar-benar menangis —untuk kesekian kali di bahunya. Entah sampai kapan air mata ini akan terus mengalir dengan sendirinya. Aku sudah lelah, serius, aku lelah.

"Kau tidak sendiri, ssst— ssst. Aku berjanji, ini semua akan berakhir dan kembali seperti dulu. Aku sedang berusaha dengan sebisaku. Kau tahu? Aku sampai menyimpan clue pada tempat-tempat tertentu agar bisa mengingatnya. Itu karena aku yakin, ini semua saling terkait. Jadi, tunggu sedikit lagi ya?"

Aku tidak merespon perkataan Renjun dan masih menangis.

"Mau kau apakan dirimu jika terus menangis? Simpan air matamu untuk kebahagiaan kita nanti. Ini akan berlalu, Grassie."

Setelah mendengar penuturan itu, aku memilih untuk menghentikan tangisan secara perlahan. Renjun pun melepas pelukannya, kembali mengusap air mataku.

"Kau tidak boleh menangis, aku akan merasa gagal jika kau terus sedih."

"Hiks— maaf."

Renjun menghela nafas dan kembali memelukku. "Pelukan Injun akan membuat Grassie menjadi lebih baik, bukan?"

Hal itu tidak perlu kau katakan.

Selepas Renjun kembali melonggarkan pelukan, Jisung pun datang dan muncul dari balik dinding. "Injun hyung." Panggilnya.

"Ia kembali menyebut namamu itu." Gumamku.

Renjun menoleh padaku. "Tidak apa, ia sudah menahannya sejak kita kembali bertemu." Renjun pun kembali melihat Jisung lagi. "Ada apa?"

"Kompornya tidak bisa menyala. Bisa kau bantu?"

"Ya." Renjun bangkit dan mengusap kepalaku. "Tunggu disini."

Aku mengangguk dan melihatnya bangkit menuju dapur bersama Jisung. Kini tinggallah aku sendiri yang tengah mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Aku melihat bunga yang kemarin kuletakkan bersama Haechan, yang bersampingan langsung dengan lukisan buatan Renjun.

Entah kenapa diriku berdiri dengan sendirinya, seperti sangat tertarik pada dua benda itu.

Lukisan adalah pemberian dari Huang Renjun yang merupakan hadiah ulang tahunku. Sementara bunga adalah pemberian dari Mark. Ah, hal ini membuatku sedikit merindukan kehadiran Mark yang kini sedang berada di Kanada. Dia adalah lelaki yang baik, selalu saja menolongku.

Kemudian kupandangi lukisan buatan Renjun. Memperlihatkan senja dengan tandatangannya yang berada di sudut kanvas. Selagi menatapnya, kudengar suara pintu tertutup yang mungkin adalah Haechan. Aku terlalu fokus pada keindahan karya Renjun sehingga tidak bisa mengalihkan pandanganku.

"Kau tahu? Aku sampai menyimpan clue di tempat-tempat tertentu agar bisa mengingatnya. Itu karena aku yakin, ini semua saling terkait. Jadi, tunggu sedikit lagi, ya?"

Tubuhku tiba-tiba kembali merasa kaku, mendapati sesuatu —yang mungkin adalah salah satu clue yang sengaja disimpan oleh Renjun.

Kudengar langkah seseorang mendekatiku, namun tidak bisa kulihat lantaran kepalaku terasa semakin berat. Akhirnya aku memilih memanggil Renjun, yang kuyakini sedang berdiri di sampingku. "Injun, kepalaku sangat sakit."

"Ini aku, bodoh."

Jantungku seolah terhenti saat itu juga tepat setelah mendengar suara yang bukan milik Huang Renjun.

"Surprise."


To be continue

[I] THE DREAM ✓Where stories live. Discover now