11. Tongkat kasti

4.8K 1K 211
                                    

Diperjalananku kembali menuju rumah, bisa kurasakan deru angin malam yang begitu menyapu wajah secara lembut. Terasa sangat tenang, dengan getaran yang berbeda dibanding langit yang masih terang. Langkah kakiku bahkan terdengar sangat jelas, pun langkah lelaki yang sedang mengantarku pulang kerumah.

"Sudah sejak lama, ya?" Kata Renjun pelan membuat mulutnya mengeluarkan sedikit kepulan asap. "Eratkan syalmu." Tambahnya.

Kulakukan hal yang baru saja Renjun minta, membuat diriku menghangat lebih baik. Diujung jalan, kaki Renjun terhenti. Menatap sesuatu yang berada sedikit jauh dari kami.

Rumah Malaikat Somnia.

Atau sebut saja panti asuhan yang dulunya menjadi tempat tinggal Huang Renjun. Ya, diantara kami semua, lelaki ini adalah satu-satunya yatim piatu. Meski begitu, Renjun tumbuh menjadi lelaki yang sangat peduli, pemberani, juga mandiri untuk memperhatikan kami yang masih merasakan hangatnya rumah sendiri. Renjun bahkan dikenal sangat baik, sampai-sampai dijuluki sebagai malaikat dari rumah tersebut.

"Kau pasti merindukan tempat itu."

Renjun menunduk sembari menurunkan topi miliknya agar lebih menutupi wajah. "Tentu. Bahkan setelah aku tahu, beberapa dari kerabat seusiaku telah diadopsi."

"Kau telah berusaha sebaik mungkin, Injun. Masih ada aku dan yang lainnya."

Renjun menatapku dengan manik mata yang berbinar bahagia. "Itu benar, kalian adalah segalanya."

Salah satu dari beribu-ribu alasan kenapa aku tidak bisa merelakan mereka pergi dariku. Sebuah karunia yang sangat berarti untukku, mengenal orang-orang yang selalu mengubah monotonnya pendirianku sendiri. Aku tanpa mereka, adalah hidup datar.

"Ayo, kau harus segera kembali kerumah."

Aku mengangguk dan kembali melangkah bersamanya. Kami mengobrol untuk beberapa saat, mengisi sunyinya pagi buta. Hingga tiba dipenghujung jalan sebelum berbelok menuju rumahku, Renjun kembali berhenti.

"Ada apa?"

"Berjalanlah terlebih dulu. Kuamati kau dari belakang."

"Eung?"

"Tidak apa-apa."

Dengan berat hati, aku berjalan terlebih dulu. Langkahku terdengar hampir terseok, sulit untuk berpisah dengannya. Hingga tibalah aku didepan pagar rumah, kuarahkan pandanganku lagi padanya. "Injun." Bisikku, yang bisa sedikit terdengar olehnya. Aku kembali menghampiri Renjun untuk melepaskan syal yang kukenakan. "Anggap saja rasa terima kasihku." Dan kulilitkan secara lembut pada lehernya.

la menunggu tanganku selesai memakaikan syal padanya sambil melihatku dengan senyuman. Setelah itu aku kembali melangkah mundur dengan tangan yang sedikit melambai. "Hati-hati."

Ukiran tipis dibibirnya masih setia merekah pada wajah chinese itu sembari menganggukkan kepala. Renjun menungguku masuk, hingga tidak kuketahui apa ia langsung berbalik untuk kembali ke Le Reve.

Setelah berhasil membuka dan menutup pintu rumah tanpa suara, aku berusaha untuk mengendap-endapkan kaki kembali menuju lantai atas.

"Apa yang kau lakukan?" Tegur Yangyang dari balik pintu kamar tamu yang baru saja ia tarik.

"Ah, aku— aku baru saja dari dapur untuk minum."

"Begitukah?"

Kuanggukkan kepala, berusaha terlihat santai.

"Aku kira kau keluar."

"Sepagi ini? Tidak mungkin." Bohongku dengan sedikit tertawa. "Apa kau sedang mengintaiku?"

Yangyang menatapku untuk sementara waktu. Untuk selanjutnya ia mengendikkan bahu dan kembali berbalik kedalam kamar. "Mungkin saja." Lalu pintunya pun tertutup.

Aku terdiam dengan satu alis yang terangkat. Kemudian aku menggelengkan kepala melihat sikap Liu Yangyang. Ah, ada-ada saja kelakuannya untuk hari ini.











—lrv—











Sinar mentari kini terlihat kembali bersama sinar paginya. Tidak terik hingga terasa memakan kulit, namun cukup cerah. Gundukan salju pun kian mencair. Benda mati dan permukaan yang tertutupinya perlahan terlihat, menandakan jika musim dingin kali ini telah berakhir.

Aku berjalan keluar rumah menuju beranda depan guna membersihkan benda-benda agar pekarangan terlihat rapi. Disaat aku membuka pintu, seseorang dari rumah seberang terlihat melambaikan tangannya. Ah, gadis kecil itu, Lee Haejung. Adik dari Lee Haechan. Meski kami jarang bertemu, namun Haejung selalu menyapa jika melihatku.

Kubalas lambaian tangannya sambil tersenyum, membuatnya semakin melebarkan lengkungan tipis diwajah. Haejung nampaknya akan menutup pintu, namun sembelum itu ia menunjukku.

Aku mengerutkan dahi, sedikit kebingungan karena Haejung seperti menunjuk sesuatu. Awalnya kukira ada yang salah dari pakaianku, tetapi setelah kuperiksa, semuanya terasa normal. Aku juga mencoba menoleh kekiri dan kanan, tidak ada apa-apa. Kucoba memincingkan mata lagi ketika Haejung seolah mengucapkan sesuatu.

"Disana, disana."

Jika aku tidak salah menduga.

Apa? Disana apa?

"la menatapmu."

Aku semakin tidak mengerti dengan Haejung.

Kemudian Tuan Lee terlihat keluar dari dalam rumahnya, memanggil Haejung untuk masuk. Haejung mengangguk, namun masih terus melihatku sebelum ayahnya menutup pintu.

la dan ayahnya masuk, meninggalkanku yang terus bertanya-tanya. Mungkin saja, Haejung berniat bermain tebak-tebakan denganku. Mungkin saja.

Aku kemudian beralih turun dari tangga didepan pintu rumah dan mengawali sesi membersihkanku hari ini. Sebenarnya Yangyang ingin membantuku, namun lebih baik jika lelaki itu tidak kubangunkan lebih pagi karena kudengar ia kesulitan tidur sejak aku pulang dari Le Reve. Beberapa menit kuhabiskan untuk membersihkan dedaunan dan sampah kecil yang mungkin saja terbawa angin.

Aku merasa agak aneh, sebenarnya, setelah melihat Lee Haejung seperti tadi. Sesekali aku menoleh kebelakang, merasa sesuatu sedang mengamatiku. Rasanya sedikit gelisah, entah apa sebabnya. Kupikir ini hanya firasatku semata, tetapi semakin lama, aku merasa semakin ada yang mengganjal.

Kuputuskan menaruh sapu yang kugunakan dibawah pohon kecil. Aku kemudian melangkahkan kaki dengan pelan menuju gudang kecil disamping rumah setelah mendapati sosok bayangan yang melintas dengan cepat. Kupikir itu ibu, tetapi sebelumnya ia sudah berpamitan akan pergi ke rumah Zhong untuk menjenguk nenek.

Sejujurnya aku sedikit takut jika sesuatu tiba-tiba mengejutkanku. Jantungku kembali terasa tidak stabil, yang meskipun ini adalah beranda depan rumah yang terbilang tidak sesunyi didalam rumahku. "Apa ada orang?" Kataku ketika semakin dekat dengan gudang. "Hello?"


Prang!


Bunyi bising itu terdengar persis dari dalam sana. Ketika aku ingin mempercepat langkah, tiba-tiba seseorang keluar sambil membawa sebuah tongkat kasti.

"Astaga—"











—Maaf, sebagian naskah telah dihapus untuk kepentingan penerbitan—

[I] THE DREAM ✓Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz