24. Memecahkan clue

3.7K 893 129
                                    

Grace side

Malam ini, keenam sahabatku masih setia menemaniku dirumah. Mereka terlihat masih sibuk mengumpulkan satu persatu bukti yang ada, sedangkan aku hanya terdiam bersama Jisung yang kembali menata rambutku. Mereka tidak mengizinkanku untuk bergabung, tidak ingin diriku seperti tadi siang, katanya.

Itu memang cukup menakutkan, bahkan masih terbayang sampai detik ini.

Mereka dengan ringan hati membawa barang-barang mereka yang penting di Le Reve untuk dibawa kemari dan mencocokkannya pada surat-surat yang kutemukan dikamar ibu. Aku? Tampak seperti pasien yang menunggu diagnosa dokter dengan memandangi yang hal lain menggunakan tatapan hampa, sedikit penasaran dengan kesibukan mereka.

"Noona."

Aku berdehim menanggapi panggilan dari Jisung.

"Apa tukang pos masih bekerja dijam seperti ini?"

"Ya, terkadang. Mungkin surat yang harus ia antarkan masih tersisa beberapa."

"Tidak, maksudku—" Jisung mengarahkan pandanganku agar melihat keluar dari jendela. Seseorang baru saja meletakkan sesuatu dikotak surat yang berada diluar sana. "Siapa yang mengirimimu surat hingga harus diantarkan semalam ini?"

"Orang ini—" ucap Haechan mengambil jeda sebentar, menarik perhatianku dan Jisung secara serempak. "Orang ini benar-benar dekat dengan Grassie."

Kukerutkan dahiku menanggapinya. "Maksudmu?"

"Dia tahu tentangmu." Sambung Jeno dan memperlihatkan kertas-kertas tadi. "Jika kau balik kertas ini, maka ada kode yang tertera yang merupakan tanggal lahirmu." Sambil menunjukkan bagian belakang kertas surat.

"Ia menguntitmu beberapa hari terakhir. Tetapi, kenapa ia melakukan itu jika ia dekat dengan Grassie?"

"Menguntit, memberi kode, dan membunuh ibu Grace dihari ulang tahun Grace?"

Jisung segera menutup kedua telingaku meski perkataan tadi sudah terlanjur kudengar. Kuhela nafas dan menoleh pada Jisung sembari menurunkan kedua tangan. Kuisyaratkan padanya, jika aku baik-baik saja.

Tiba-tiba sebuah pesan masuk keponselku yang membuatku segera mengeluarkan benda persegi panjang itu dari saku outer yang sedang kukenakan.

Aku mendengus, merasa begitu berat melihat pesan singkat dari Mark. Jika ia tidak menghadiri pemakaman ibu, ia tidak perlu terbang ke Kanada seperti ini. Meski kami tidak begitu dekat, tetapi lelaki itu terbilang sangat baik. Tidak heran jika ibunya sangat menyayanginya.

Baik, dan hal yang sama terjadi lagi.

Aku kembali ditinggalkan oleh seseorang.

Entah apa yang harus diartikan karena ini. Apa memang aku memiliki takdir menyedihkan? Karena bagaimana pun juga, aku ingin orang-orang yang kukenal selalu berada disini, bersamaku. Setidaknya melihat mereka baik-baik saja, tersenyum dan bertegur sapa denganku sampai aku tua nanti.

"Jisungie."

"Eung?"

"Noona— adalah pembawa sial, bukan?"

"Aish." Ucapan Jisung membuat yang lain menoleh menatap kami. "Kenapa kau berkata seperti itu? Aku tidak suka."

"Maksudku, hanya saja—" orang-orang selalu terluka disaat mereka bersamaku. Benar?

Setelah itu, Jaemin memanggilku. "Grassie." Dan kembali melanjutkan setelah aku melihatnya. "Sekali lagi kau berkata seperti itu, aku tidak akan mau lagi berurusan denganmu."

"Mmm—" gumamku lalu menunduk.

"Oh, oh, bunga apa ini?" Seru Haechan bermaksud mencairkan suasana dengan menghampiri sebuket bunga yang ada diatas meja. "Sudah mulai layu. Kurasa masih bisa diselamatkan. Ayo Grassie, temani aku menyelamatkannya."

Haechan menarikku dan membuatku mengikutinya menuju dapur. Disana ada dua buah vas bunga kaca kosong, yang bisa digunakan untuk menyimpan bunga-bunga tersebut. Lee Haechan menyiram bunga-bunga diatas wastafel dan membuatku sedikit ragu.

Aku tidak yakin bunga-bunga itu akan membaik.

"Grassie."

"Hm?"

"Kau tahu kan jika Jaemin tidak benar-benar bermaksud seperti itu?"

Aku terdiam mendengar pertanyaannya.

"Dia hanya tidak ingin kau terus menyalahkan dirimu. Kami ingin kau hidup lebih baik kedepannya." Jelas Haechan seraya menatapku. Ia mengelap jarinya pada baju yang ia kenakan dan mencubit pipiku. "Grassie kami selalu cantik."

Aku mengembungkan pipi sebab merasa sedikit sakit dengan perbuatannya barusan. Haechan lalu memintaku memasukkan bunga-bunga tersebut kedalam vas tadi.

"Sudah selesai?"

Aku mengangguk setelah memasukkan bunga terakhir. "Ayo, letakkan diruangan tadi." Ajakku yang disetujui Haechan. Kami pun kembali keruangan yang dimana sahabat-sahabatku yang lain masih berada dalam posisi yang sama. Terkecuali Jeno.

Saat kuletakkan vas bunga diatas permukaan meja yang berbeda dengan yang dibawa Haechan, Jeno seperti menemukan sesuatu yang berada disudut ruangan. "Grassie." Panggilnya. "Sejak kapan kau suka bermain kasti?"











—Maaf, sebagian naskah telah dihapus untuk kepentingan penerbitan—

[I] THE DREAM ✓Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu