13. That's all that matters

4.2K 1K 108
                                    

"Dari mana kau mendapat buku-buku itu?" Tanyaku pada Lee Haechan yang sedang belajar bersama Zhong Chenle. "Sejarah, sastra, sains— Inggris kuno?"

"Kami menemukannya didepan sebuah perpustakaan. Sepertinya ingin dibuang. Lebih baik diambil dan kami pelajari."

Aku mengangguk paham. Sepertinya mereka juga ingin belajar secara otodidak. Bangga, bukan? Meski terhimpit kondisi yang mencengangkan sekaligus membingungkan seperti ini, mereka masih sempat bertahan dengan cara membaca buku-buku lama agar tidak tertinggal oleh waktu.

"Noona." Panggil Jisung yang menghampiriku dengan seutas pita hijau juga sisir kayu ditangannya.

"Ada apa?"

"Eh, eung— maaf memanggil noona. Karena kata Renjun hyung kau lebih tua dariku." Aku mengangguki perkataannya karena memang itu benar. "Aku ingin merapikan rambut noona."

"Apa rambutku terlihat begitu berantakan?"

Jisung mengangguk.

"Baiklah."

Lelaki bertubuh tinggi ini tersenyum senang, lantas berjalan kebelakangku yang sedang duduk diatas sebuah kotak kayu. Jisung menyisir rambutku lembut, dan sesekali memainkannya dengan tawaan kecil.

"Rambutmu ikal."

Pergerakanku terhenti, tatkala mendengar ucapannya yang persis seperti beberapa tahun yang lalu.

"Hahaha, rambut ikalmu terlihat lucu."

"Seperti rambut milik putri Ariel."

"Kau mirip dengan putri duyung yang berambut merah."

Tidak lagi, tidak.

Ah, sial.

Bodohnya rahangku perlahan bergetar akibat perkataannya yang seolah membuat diriku tersentuh olehnya yang dulu. Jisungie, kau yang dulu seperti ada disini.

Kenapa?

Ada apa denganku?

Kenapa aku menjadi selemah ini disaat mereka sudah berubah?

Sudah cukup, Grace. Semuanya sudah tidak sama seperti yang dulu. Kau hanya perlu menjalani kehidupan yang sudah terlentang dihadapanmu. Meski terkadang itu harus berbeda dan melukaimu.

Kutatap mereka satu persatu, mengamati perubahan pada diri mereka masing-masing. Mungkin selama dua tahun tidak bertemu, mereka tumbuh menjadi lelaki diharuskan untuk survive dengan kondisi yang mereka sendiri tidak inginkan. Meski sekali lagi, bagiku, rasanya tetap ada sesuatu yang sama seperti dulu.

Detik ini seperti terasa de javu. Kulihat Haechan yang bangkit dan meletakkan beberapa buku diatas nakas sembari mengalunkan lagu Hey Jude milik The Beatles. Itu memang lagu yang dulu sering kami nyanyikan bersama. Jisung, masih dengan menata rambutku sesuai keinginannya menggunakan seutas pita hijau, warna kesukaan kami. Renjun yang berdiri dengan wajah serius entah mengamati sesuatu seperti apa, juga si kembar yang tiba-tiba saja tertawa dan saling melemparkan gumpalan kertas.

Apa kalian sadar jika kalian seperti mengulang kenangan lama kita?

"Kau menangis, Grassie?" Tanya Chenle yang membuatku membuyarkan lamunan. "Jangan menangis. Tidak ada sesuatu yang menyedihkan disini."

Zhong Chenle, itu terdengar seperti perkataanmu saat mengejekku karena terharu mendapatkan hadiah crayon 24 warna darimu diulang tahunku yang ke-16. Sejujurnya kau membuatku semakin ingin menangis. Namun sudahlah, ini hanya karena aku yang terlalu cengeng.

"Tidak, aku tidak menangis."

"Lalu?"

"Mataku hanya berair karena melamun."

Chenle mendecih dan tertawa ringan.

"Apa yang dilakukan oleh Injun dan si kembar?" Tanyaku mengalihkan topik.

"Mereka berusaha mencari titik terangnya. Kau lihat itu?" Kata Jisung dengan menunjuk sebuah kertas putih besar yang direkatkan pada dinding oleh Jeno. "Tulisan-tulisan itu, garis-garisnya, semua untuk menebak siapa yang berada dibalik semua ini."

"Sejak kapan kalian melakukannya?"

"Sejak kami harus menetap disini."

Kuputuskan untuk kembali menunduk, menyembunyikan genangan air dimata. Kenapa terasa begitu sulit untuk tidak menangis? Setidaknya aku tidak ingin terlihat lemah, itu saja. Aku Grassie, sahabat mereka yang selalu kuat. Tapi melihatnya bekerja demi diriku dan keselamatan kami, menyebabkan pikiranku merasa mereka sedang sangat terbebani.

"Oh, tidak." Chenle kembali mengucapkan kata itu. "Dia benar-benar menangis."

Astaga, dia begitu peka!

Mungkin karena yang lain mendengarnya, mereka reflek meletakkan semua barang yang ada digenggaman mereka kemudian menghampiriku. Huang Renjun berjongkok tepat dihadapanku, dengan pupil matanya yang membulat khawatir. "Apa lagi ini?"

"Tidak." Sial, suaraku bergetar. "Hanya saja—" bodoh, aku bodoh.

"Katakan itu."

"Aku merindukan kalian."

Tanpa kuduga, tiba-tiba tangan Lee Haechan tergerak mengusap puncak kepalaku. "Ya, kami lupa denganmu. Tapi kami sudah disini, bukan? Kita bisa memulai semuanya dengan pelan, untuk menjadi lebih baik. Tidak ada yang perlu dikejar diantara kita."

"Chan—"

Tangisku malah pecah, terdengar begitu menyedihkan dan bodoh. Benar-benar lemah. Lihat, seberapa jeleknya wajahku menangis keras dihadapan mereka semua.

"Kau cengeng." Sambung Jeno dan menggunakan ujung pergelangan kaus oversize-nya untuk mengusap air mataku. "Menangislah jika itu membuatmu lebih baik."

"Grassie." Renjun meraih tanganku dan diletakkan pada pipinya. "Kau tidak akan pulang dengan wajah sembab, bukan?"

"Lihat." Kata Jaemin. "Matamu seperti mata beruang."

"Nana!"

"Ah, baiklah. Baik."

Disaat mereka mengamatiku yang belum bisa berhenti menangis, tiba-tiba saja Jisung berkata, "tada—" dan meletakkan sisir disampingku. "Kau berlebihan karena menungguku, noona. Rambutmu sudah bagus."

"Mirip dayang-dayang putri yang ada di Mario Bross."

Aku kembali kesal dengan Jaemin yang lagi-lagi mengejekku. "Ish."

"Ya, aish." Tegur Haechan. "Sudahi itu, Jae."

Jaemin hanya tertawa riang meski melihatku seperti ini. Perlahan tangisku mereda disebabkan Jeno yang masih saja mengelap pipiku karena dibanjiri air mata. Renjun tersenyum lebar sembari memiringkan kepalanya dan memandangku. Ah, apa aku adalah sebuah pertunjukan baginya?

"Ini, aku punya cokelat. Bagus untuk memperbaiki suasana hatimu." Chenle menyodorkan sebatang cokelat kecil yang senang hati kusambut.

"Hey, bukannya itu punyaku?!" Protes Jisung yang malah membuatku tertawa.


To be continue

[I] THE DREAM ✓Where stories live. Discover now