14. Tolong berjaga

4K 987 157
                                    

Si kembar mengajakku naik menuju atap gedung. Disana kami mendapati beberapa genangan air, juga lumut-lumut hijau yang membuat permukaan terkesan licin bahkan tanpa disentuh. Na Jeno dan Na Jaemin sengaja mengajakku, lantaran mereka ingin memperlihatkanku bulan purnama yang bersinar diakhir hari ini.

"Indah, kan?" Tanya Jeno yang kuberi anggukan. "Ini selalu menjadi keindahan tersendiri untuk kami disetiap bulan."

"Jeno." Panggilku.

"Ya?"

"Kau masih menyukainya."

Dahi Jaemin mengerut. "Masih— maksudnya?"

"Dia menggemari bulan, entah kenapa. Kalau saja kau bisa mengingat, kamar milikmu tersebar seni tentang bulan dimana-mana."

"Benarkah?"

Aku tersenyum, penanda mengiyakan jawaban mereka. "Tunggu, dari mana kalian ingat tentang Seol dan Bongshik?"

"Hey." Jaemin memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana. "Apa kau lupa diantara kami ada Renjun?"

"Ah, benar."

"Katanya, masih ada satu lagi kucing milik kami."

Aku menghela nafas tatkala mengingat nasib seekor kucing milik si kembar. "Ia sudah mati, setahun setelah kalian menghilang. Sejak kalian hilang, Nal menjadi malas makan dan terdiam didepan kamar kalian sepanjang hari."

Mereka menghela nafas secara bersamaan.

"Apa kalian sendiri merasa terbebani karena tidak mengingat hal-hal dirumah kalian?"

"Tidak juga." Jeno bersender pada dinding yang akan memperlihatkan jalanan dibawah sana. "Aku justru lebih merasakan ketidakadilan pada Renjun."

"Maksudnya?"

"Bayangkan betapa sulitnya menjadi 'satu-satunya' orang seperti itu. Maksudku, hanya kau sendiri yang mengingat tentang apa yang terjadi diantara semuanya. Namun meski begitu, kau pun harus berjuang demi sesuatu yang sangat berharga dihidupmu. Imagine it."

Jeno benar. Injun sangat kukuh pada pendiriannya yang terus bertahan. Tetapi, bagaimana dengan yang lainnya?

"Kau memikirkan kami, bukan?" Tanya Jaemin. "Aku pun sempat mengeluh kenapa aku harus melakukan hal ini."

"Maafkan jika memang aku yang menyebabkan ini semua, Nana."

"Tidak. Aku tidak ingin mendengarkan itu." Kulihat tatapannya mengamati jalan raya yang ada dibawah sana. "Ini semua berawal sejak dua tahun yang lalu. Belum jelas apa yang membuat ini semua terjadi. Dan kami tidak bisa berhenti begitu saja, kembali kerumah dan mengakhirinya. Kita sudah berada dipertengahan jalan."

Aku menunduk mendengar penjelasan Jaemin. Tuhan, jika memang itu adalah secercah harapan untuk keluar dari mimpi buruk ini, kumohon, segera akhiri itu. Batinku tersiksa melihat mereka berjuang.

"Attendez." Cegat Jeno —dalam bahasa Prancis yang artinya tahan, dengan mengepalkan satu tangannya. "Jae, arah jam 11 dari pintu utama gedung."

"Ada apa?"

Jeno mengisyaratkan diriku untuk tidak ikut melihat apa yang ada dibawah sana. "Kau tidak boleh terlihat."

"Dia muncul." Gumam Jaemin.

Aku bertanya-tanya dalam hati mengenai hal yang dimaksud si kembar.

"Jeno, bawa Grassie turun." Jaemin beralih mengedarkan pandangannya, berpura-pura tidak menyadari yang ada dibawah sana. "Lima detik dari sekarang."

Jeno berdehim dan ikut berakting seperti saudaranya. Lelaki Na ini nampak memasukkan kedua tangan pada kantung yang ada dibagian perut kaus miliknya, secara perlahan menarikku untuk menjauh dari Jaemin. Setelah berada ditangga, Jeno memintaku mempercepat langkah.

"Tapi ada apa? Katakanlah."

"Tidak bisa kujelaskan sekarang."

Begitu sampai dilantai dua, Jeno melepaskan tanganku dan menghampiri yang lainnya. "Orang itu muncul." Katanya dan mengambil kertas putih usang yang tadinya tergulung diatas meja. "Dia kembali."

Pikiranku lambat laun aku ikut paham siapa yang dimaksud oleh Jeno. Apakah— orang itu merupakan dalang dibalik semua peristiwa ini?

"Kau serius?" Tanya Haechan sambil berjalan bersama Chenle dan Jisung untuk mengitari meja yang dipermukaannya telah dipenuhi lacakan yang mereka buat. "Mana Jaemin?"

"Ia masih diatas. Mengamati orang itu."

"Bagaimana dengan noona?" Ujar Park Jisung khawatir.

Renjun memejamkan matanya sebentar, berusaha terlihat tenang. Tidak lama kemudian, Na Jaemin akhirnya ikut turun dari atas dengan nafas yang tersengal. "Orang itu sudah pergi kearah minimarket. Grassie, kau harus pulang."

"Plan D?" Kata Chenle.

"Ah, aku hampir lupa dengan itu." Balas Renjun. Jeno, Haechan, Jaemin serta Jisung mengangguk serentak, segera meraih topi atau scraf yang dapat menutupi wajah mereka masing-masing. Renjun menarikku dan memasangkan topi miliknya dikepalaku. "Ayo."

Aku hanya bisa menuruti pintaannya dan berjalan bersama mereka keluar dari gedung ini. Kami keluar secara bersamaan, berusaha agar tidak ada yang melihat gerak-gerik kami. Mereka seperti merencanakan sesuatu yang aku sendiri tidak tahu apa itu.

Dititik pertama, enam langkah dari gedung, si kembar berhenti disana. Dititik kedua adalah tempat Lee Haechan. Berikutnya adalah giliran Zhong Chenle, dan titik kelima merupakan milik Jisung yang sebentar lagi akan sampai didepan rumahku.

"Injun, ada apa ini?"

Lelaki bermarga Huang itu tidak menjawab pertanyaanku dan terus berjalan sembari menggenggam pergelangan tanganku. Sesampainya tepat dihadapan pagar rumahku, Renjun berhenti.

"Tutup dan kunci semua pintu dengan baik, jangan keluar atau bahkan mengintip. Tidur dengan nyenyak, mengerti?" Jelasnya.

Aku mengangguk menuruti ucapannya. Renjun lalu memintaku untuk segera masuk dan pamit, menungguku segera tiba didalam rumah. Sekali lagi, kulakukan perintahnya untuk segera mengunci semua pintu. Sejujurnya aku juga khawatir dengan mereka, berandai-andai jika saja ada hal buruk yang terjadi.

"Ada apa?" Tanya Liu Yangyang berhasil membuat jantungku seperti berhenti sesaat, untuk kesekian kalinya.

Aku yang spontan bersandar pada dinding sambil mengusap dada hampir saja menyerukan namanya jika saja tidak mengingat ibu mungkin sudah tidur. "Kau, astaga."

"Kenapa kau ini? Juga, kau darimana?"

"Aku? Aku, aku dari rumah teman."

Yangyang memincingkan mata, seolah menyimpan curiga padaku. "Begitukah?"

"Tentu." Jawabku sedikit gugup. "Memangnya ada apa?"

"Tidak, hanya bertanya." Jawabnya santai dan kembali masuk kedalam kamarnya.

"Kenapa kau semakin aneh?" Gumamku agar ia tidak mendengarnya. Namun ia malah berbalik dan tersenyum padaku. "Grace, jangan pernah berbohong. Aku hanya khawatir."

"Huh?"

"Sudah cukup kau bersahabat dimasa lalumu. Bahkan dengan orang baik seperti Mark yang dikatakan ibumu, menutup dirilah." Ujarnya selagi masuk kedalam kamar. Dan saat menutup pintu kamar, Liu Yangyang kembali berkata sebelum tersenyum. "Bercanda."


To be continue

[I] THE DREAM ✓Where stories live. Discover now