18. Ibu pergi

3.5K 904 184
                                    

"Kami tidak sengaja melihat rumah Grassie yang ramai."

"Rumah Grassie?"

"Ada keramaian didepan sana. Juga, ada garis polisi yang terpasang."

Perkataan Na Jaemin yang baru saja meluncur dari mulutnya sontak menginstrupsi diriku yang tadinya masih tertidur. Aku tidak tahu kenapa aku bisa terbangun seperti ini. Tidurku cukup baik, tetapi perkataannya membuatku hampir sepenuhnya meninggalkan masa istirahat dengan mudah. Akhirnya aku memutuskan untuk menyibakkan selimut dan bangkit, menghampiri mereka.

"Noona." Panggil Park Jisung yang membuat kelima lelaki lainnya menatapku.

"Grassie."

"Apa? Ada apa dengan rumahku?" Tanyaku sambil mendekati si kembar. Wajah mereka tampak ragu, membuatku semakin berpikir yang tidak-tidak. "Katakan, apa itu."

"Aku pikir kau harus segera pulang." Kata Renjun yang tentunya segera kuangguki. Baru saja aku akan melangkah bersamanya, Haechan tiba-tiba mencegat tangan Renjun.

"Kenapa?"

"Disana ramai, Jun. Kau tidak mungkin muncul disana dan semakin menggemparkan Somnia, kan?"

"Tapi bagaimana dengan Grassie?"

Aku menunduk menatap ujung sepatu yang kukenakan. Perasaan mereka yang ikut gelisah sepertiku benar-benar terasa. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada Liu Yangyang? Ibu sedang kemakam, apa perlu kuhubungi beliau sekarang juga?

"Grassie, kami akan menjagamu dari jauh." Kata Jeno. "Aku benar-benar meminta maaf, namun, sudah tidak mungkin kami ikut pergi kesana."

Kudengar Jaemin menghela nafas berat, juga Chenle yang mengusap wajahnya sedikit jenuh. Aku berusaha terlihat baik-baik saja, agar mereka tidak begitu memikirkan hal ini. "Aku akan mengurusnya. Kalian tidak perlu khawatir."

"Grassie."

"Percayakan semua padaku, Nana."

Sejujurnya aku sudah tidak bisa berpikiran jernih lagi. Aku baru saja terbangun, tetapi mendadak aku harus menghadapi sesuatu seperti ini lagi. Jeno benar, mereka tidak mungkin muncul kesana hanya untuk menemaniku, memastikan hal apa yang tengah terjadi.

"Aku pergi dulu." Pamitku dengan perasaan yang ingin segera pulang kerumah. Tiba-tiba saja Renjun meraih tanganku, membuatku perlahan menoleh padanya. "Ya?"

"Jangan takut. Kau tahu jika kami ada, bukan?"

Untuk kesekian kalinya aku mengangguk. Dan dengan langkah yang semakin melemah pun berat, aku berjalan pergi meninggalkan mereka untuk keluar dari Le Reve. Aku berjalan seperti mayat hidup yang linglung, lantaran terus bertanya-tanya apa yang terjadi.

Aku harap Yangyang baik-baik saja, aku harap.

Beberapa menit kemudian, aku telah berada beberapa meter dari kediamanku. Secara bersamaan, aku melihat ibu dari si kembar keluar dari rumahku dengan tangisannya yang entah disebabkan karena apa. Nafasku terasa semakin tersengal, berusaha untuk tidak berpikiran semakin buruk.

Dekat, dan semakin dekat. Aku pun tiba dihadapan rumah yang terdapat beberapa mobil petugas serta garis polisi yang telah terpasang. Ibu Na menemukanku, lantas mendekat serta memelukku. "Grace—"

Aku tidak bisa berkata apa-apa karena ketakutan ini semakin menyelimuti seluruh tubuhku. Aku hanya bisa terdiam seribu bahasa akibat Ibu Na yang kian melirih.

"Nona Grace Jung?"

Kualihkan pandangan pada seorang petugas yang memangkas jarak usai menyebut namaku.

"Nyonya Kim dinyatakan meninggal dunia."

Tubuhku reflek merasa sulit untuk menopang segalanya. Kakiku seolah tidak bisa menapak lagi, merasakan semuanya menghilang dalam sekejap. Tolong, ini hanya mimpi, bukan? Seseorang tolong bangunkan aku! Aku hanya sedang bermimpi, ibu sedang berada diperjalanan menuju makam kakek dan nenek!

"Bu—"

Aku melangkah masuk, mengabaikan semua orang yang melihatku sendu. Aku ingin memastikan jika itu bukan ibu, mereka hanya salah mengira. Aku terus masuk, mencari-cari yang dimaksud oleh petugas. Aku pun berhenti, tepat dipintu dapur yang didalamnya ada Tuan Lee —ayah Haechan dan Tuan Zhong —ayah Chenle. Mereka ikut menoleh, menemukanku dengan wajah yang begitu dirundung ini.

"Grace."

Aku menghampiri mereka setelah meletakkan sebuket bunga yang kugenggam. Hal ini membuat Tuan Zhong bergeser pelan, memperlihatkanku seorang wanita dengan darah yang mengalir keluar dari mulutnya.

Ibu, tidak mungkin jika ini semua nyata. Apa yang kau lakukan dengan kondisi seperti itu?

"Bu."

Semua pertanyaanku benar-benar terhenti dileher begitu saja. Semuanya tertahan dengan sendirinya, meski hanya sekadar bertanya apa yang sebenarnya telah terjadi pada sosok wanita penolongku?

Kuberanikan mendekati ibu yang telah terbujur kaku sembari menutup mulut. Tubuhku benar-benar terguncang, bahkan kata terkejut terlalu kurang untuk menggambarkan semuanya. "Ibu—" lirihku lagi seraya menyentuh dirinya yang telah mengenakan pakaian serba hitam.











—Maaf, sebagian naskah telah dihapus untuk kepentingan penerbitan—

[I] THE DREAM ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang