Kapitel 1.1

22.3K 1K 7
                                    

"Halo, kenapa ma?" ucapku setelah mengangkat panggilan telepon dari mama.

"Mama ganggu ga?"

"Ngak" aku melihat ke arah jam tangan yang berada pada pergelangan tanganku sambil berjalan keluar dari ruangan.

"Kamu lagi ga sibuk kan?"

"Ngak, memangnya ada apa sih? Tumben mama telepon aku"

"Kamu ini ya bikin mama terdengar seperti jarang telepon anak mama sendiri. Mama cuman mau tanya, malam ini kamu ga ada jadwal praktek atau operasi kan?"

"Sejauh ini sih ga ada" balasku sambil menekan tombol lift.

"Kalau gitu, ikut mama ketemu sama tante Wanda ya. Denger-denger, anaknya lagi pulang ke Indonesia loh. Mama kan udah sering cerita kalau anaknya itu juga dokter, pintar, ganteng-"

"-ngak ya ma, pokoknya aku ga mau" dengan cepat aku menolak. Aku sudah memiliki perasaan buruk saat melihat panggilan telepon dari mama. Pertama, ia tidak pernah meneleponku karena sibuk mengikuti arisan dengan kelompok ibu-ibu yang berbeda-beda dan kedua, ia tidak pernah bertanya mengenai jadwalku. Lebih tepatnya, ia tidak pernah peduli dengan aktivitasku sebagai dokter.

"Hanna, anak temen mama lainnya tuh udah pada nikah, punya anak, sedangkan kamu? Pernah kenalin cowo ke mama aja ngak"

Kalau saja yang menghubungiku saat ini bukanlah ibuku, aku sudah mematikan telepon ini tanpa mempedulikan apapun. Hanya saja, aku takut di kutuk ibu sendiri seperti Malin Kundang.

Pintu lift yang terbuka memperlihatkan ruang kosong di dalamnya. Aku pun melangkah masuk dan pintu yang hampir tertutup itu kembali terbuka, sepertinya ada yang menekannya dari depan. Tak lama setelah itu, seorang pria melangkah masuk dan berdiri di sampingku.

"Hanna? Kamu ga matiin teleponnya kan?" suara mama mengalihkan pandanganku dari pria itu.

"Iya aku denger, pekerjaan aku ini membutuhkan banyak waktu dan mama ga bisa samain sama anak temen mama yang kerjaannya cuman sedot uang orang tuanya. Jadi, wajar dong kalau aku belum bisa ketemu pria yang tepat?"

Pintu lift kembali terbuka, menandakan bahwa aku telah tiba pada lantai yang ku tuju.

"Iya mama tau tapi kali ini aja kamu dengerin kata mama, mama janji ga akan maksa kamu lagi setelah ini. Kedepannya ya itu pilihan kamu, oke?" Aku terdiam, berpikir untuk beberapa saat.

"Oke, mama sendiri yang bilang ya jadi kedepannya jangan paksa aku lagi"

"Oke kalau begitu, nanti mama kirim lokasinya dan mama tunggu kamu jam 7 ya. Pakai baju yang bagus dan kamu harus terlihat cantik, oke?

"Aku usahain" ucapku sebelum menutup telepon.

Setelah perbincangan singkat dengan mama yang ku akui cukup menambah beban pada pikiranku, aku memasukkan handphoneku ke dalam saku jas dokter yang ku kenakan sehari-hari. Meskipun tadi aku sedang berbicara dengan mama, aku merasakan langkah kaki yang terus mengikutiku sejak aku berjalan keluar dari lift.

Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti dan memutar badanku, berusaha untuk mencari pemilik dari suara langkah kaki tersebut. Rupanya langkah kaki tersebut juga terhenti dan pemilik dari langkah kaki tersebut tak lain adalah pria yang  berada di dalam lift yang sama denganku.

Ia menatapku tanpa senyuman sedikitpun pada wajahnya. Tubuhnya tegap dan wajahnya terlihat dingin.

"Maaf, anda ada urusan apa ya?" tanyaku, yang hanya di balas dengan tatapan bingung olehnya.

"Saya tau anda mengikuti saya dari lift" lanjutku.

Ia tidak memberikan balasan apapun dan masih menatapku bingung.

"Kalau anda tidak mau mengatakan alasannya, saya akan memanggil security karena saya cukup merasa terganggu" lagi-lagi, aku yang mengeluarkan suara.

Kini pria itu tersenyum. Tapi, senyumannya terlihat seolah-olah ia sedang merendahkanku dan menganggap apa yang sedang di tatapnya itu sebagai sebuah lelucon.

"Pertama, saya sedang tidak berusaha untuk mengikuti anda" pria tersebut mengeluarkan suara untuk pertama kalinya.

"Kedua, anda yang sedari tadi menghalangi saya karena anda berjalan seperti siput dan yang ketiga," ia berhenti untuk beberapa saat sambil berjalan mendekatiku.

Aku melangkah mundur hingga punggungku menabrak sebuah tembok yang tidak bisa ku salahkan. Melihatku yang sudah tidak dapat melangkah mundur, ia mendekatkan wajahnya dengan wajahku. Menyisakan beberapa senti di antara wajah kami.

"Sedari tadi, suara anda juga cukup membuat saya merasa terganggu"

Rasanya jantungku nyaris berhenti saat ia berbicara kepadaku dengan jarak se-dekat itu. Bahkan, aku dapat mencium aroma parfum yang cukup kuat dari tubuhnya. Setelah membuatku diam seribu bahasa, ia menjauhkan dirinya dariku dan berjalan meninggalkanku seolah-olah tidak ada yang terjadi.

Aku hanya tertawa, menertawakan diriku sendiri yang sudah menunjukkan kebodohanku secara langsung. Siapapun pria itu, aku berharap bahwa aku tidak akan pernah dipertemukan kembali dengannya.


LakunaМесто, где живут истории. Откройте их для себя