Kapitel 2.3

14.8K 876 11
                                    

Aku tidak ingat bagaimana aku bisa tertidur di sini semalam. Aku terbangun dan melihat jas dokter dengan name tag Alvaro yang menyelimutiku. Aku mengalihkan pandanganku pada ranjang yang berada di hadapanku. Ada yang aneh, rasanya ranjang ini sangat kosong. Benar! Anak itu!

Dengan cepat aku berlari keluar tenda untuk mencari anak kecil yang seharusnya masih terbaring di atas ranjang itu. Langkah kakiku pun terhenti saat aku melihatnya sedang berjalan di samping Alvaro sambil memegang tiang infus. Aku berjalan ke arahnya dan menekuk lututku untuk menyesuaikan tinggiku dengan tubuh mungilnya.

"Your fever has gone" ucapku sambil meletakkan tanganku pada dahinya.

Ia menatap Alvaro, seolah-olah menanyakan siapa perempuan yang tiba-tiba muncul ini.

"Sie ist diejenige, die dir hilft¹" Alvaro membungkukkan tubuhnya, ikut menyesuaikan dengan tubuh anak kecil itu.

"Oh, hallo" anak itu tersenyum tipis kepadaku.

Aku pun membalas senyuman manisnya, seperti dugaanku suaranya memang menggemaskan.

"Dia udah sarapan?" tanyaku kepada Alvaro.

"Udah, tadi Julian bawain roti dan sup jamur"

"Kalau gitu, gue ambilin obat dulu buat dia"

Saat aku hendak mengambil beberapa langkah maju, Alvaro menahan lenganku.

"Tenang, udah gue kasih obat tadi" ucap Alvaro sambil tersenyum.

"Sekarang, lo mandi dan sarapan dulu. Masih ada sekitar satu setengah jam lagi sebelum kita ngumpul di Medic Center"

Aku pun mengikuti ucapan Alvaro. Aku membasuh tubuhku dengan cepat dan kembali ke tendaku untuk mengambil beberapa perlengkapan untuk hari ini.

"Semalam, ada yang ga balik ke tenda nih" ucap Nike saat aku baru saja masuk ke dalam tenda kami.

"Astaga, lo ngagetin aja"

"Lo tidur di mana semalam?" tanya Nike sambil berjalan mendekatiku.

"Gue jagain anak kecil yang demam kemarin dan ga sengaja ketiduran di sampingnya"

"Di mana?" Nike menaikkan sebelah alisnya sambil menatapku dengan tatapan penuh curiga.

"Di tenda Al... dokter Alvaro maksud gue"

"I knew it! Pasti ada sesuatu di antara lo berdua, cerita dong" Nike memegang lenganku sambil berusaha untuk membujukku untuk bercerita padanya.

Suara alarm pertanda bahwa tim medis harus segera berkumpul di Medic Center berbunyi. Aku dan Nike pun dengan cepat mengambil perlengkapan kami dan berjalan keluar tenda. Alarm itu menyelamatkanku.

"Inget ya, lo masih utang cerita sama gue!" ucap Nike kepadaku.

Setelah berkumpul di Medic Center  bersama dengan dokter lainnya, kami mendapat pembagian tugas yang berbeda dengan hari sebelumnya. Hari ini, aku ditugaskan di Medic Center untuk memeriksa pasien yang ada dan yang akan datang. Di hadapanku, Fani sudah tersenyum dengan lebar. Aku tau, di dalam hatinya ia sedang merasa senang akibat disatukan dalam kelompok yang sama dengan Alvaro hari ini.

Seperti biasanya, kepala dari tim evakuasi berbicara terlebih dahulu kepada Alvaro sebelum disampaikan pesannya kepada kami dalam bahasa yang kami lebih mengerti.

"Hari ini, kita akan menjangkau tempat yang lebih dalam. Sebelumnya, beberapa pasien sudah sempat diberikan tindakan pertama dan hari ini mereka akan dibawa keluar menuju Medic Center. Bagi tim yang akan ikut melakukan evakuasi dihimbau untuk memakai sepatu yang nyaman dan mempersiapkan dirinya, sedangkan tim yang akan bertugas di Medic Center mohon untuk selalu mempersiapkan diri jika ada pasien yang baru datang" ucap Alvaro dengan tegas.

Setelah mendapat briefing singkat darinya, kami bergegas untuk mempersiapkan diri dan bertugas sesuai dengan pembagian tugas yang ada.

"Eh, ada cewenya Alva" ucap seorang pria yang aku sering lihat bersama Alvaro sebelumnya.

"Lo..."

"Gue Julian. Sahabat, partner, sekaligus dokter handal yang selalu ada di samping Alvaro" ia mengulurkan tangannya tepat di hadapanku.

"Hanna" ucapku sambil bersalaman dengan Julian.

"Ga Alva ga cewenya, dua-duanya sama aja dingin. Brrrrrrr!" Julian memegang kedua lengannya, seolah-olah ia sedang kedinginan.

"Tapi Alva baik kok, dingin di luar hangat di dalam. Keren ya kata-kata gue?" lanjut Julian yang masih belum berhenti berbicara.

"Gue rasa kita harus siap-siap" 

Senyuman yang sempat berada pada wajah Julian pun menghilang.

"Ada pasien yang baru saja datang!" teriak seorang dokter.

Aku dan Julian sama-sama mengalihkan pandangan kami ke arah pasien yang baru datang itu.

"Can I help you?" ucapku pada seorang pria yang baru saja datang dengan bantuan anggota tim evakuasi yang membantunya untuk berdiri dengan benar.

"He can't feel his right feet well since this morning" anggota tim evakuasi yang ada di sampingnya itu menjelaskan situasinya kepadaku.

Aku pun membantunya untuk berbaring pada ranjang agar aku dapat memeriksanya. Kakinya tampak pucat, kuku kakinya juga terlihat sedikit rapuh

"Peripheral Artery Disease²"

Aku menarik USG Doppler yang letaknya tak jauh dariku untuk melihat kondisi arteri yang tersumbat padanya. Untung saja kondisinya masih belum terlalu parah.

"As for now, I'll give you a medicine to make your blood flow smoothly. We'll see whether you need more serious action or not after several hour"

Ia mengangguk dan tersenyum setelah aku memberikannya Cilostazol yang berfungsi untuk membuat aliran darahnya kembali lancar.

Untung saja pasien yang di evakuasi hari ini tidak memerlukan tindakan yang cukup serius, mengingat jumlah dokter yang terbatas dan hal tersebut dapat membuat kami sedikit kelabakan.

"Ada pasien darurat di sini!" teriak seorang dokter yang datang bersama anggota tim evakuasi sambil mendorong ranjang pasien.

Ternyata bukannya tidak ada tetapi, belum ada.

Aku menghampiri asal suara tersebut yang ternyata adalah Alvaro.

"Waktu di evakuasi, pasien ngak sadarkan diri dan tim medis yang ikut meng-evakuasi sudah sempat memberikan CPR" ucap Alvaro kepada aku dan Julian yang baru saja menghampirinya.

"Oke" balasku sambil berdiri di depannya dan ikut mendorong ranjang tersebut. Sambil mendorong ranjang, aku tidak sengaja melihat tangan kanan Alvaro yang terluka.

Luka tersebut kecil tapi sedikit berbahaya jika dibiarkan terbuka, mengingat Alvaro yang akan pergi ke tempat dengan sisa puing-puing akibat gempa.

Setelah pasien dibawa masuk ke dalam salah satu bilik ruang UGD, aku menahan tangan Alvaro yang hendak berjalan keluar dari Medic Center. Aku mengeluarkan sebuah hansaplast dengan motif beruang dari salah satu saku yang ada pada jas Dokterku dan memasangnya pada luka yang terdapat pada tangan kanan Alvaro.

"Hati-hati" ucapku kepadanya.

Alvaro menganggukkan kepalanya sambil tersenyum kepadaku. Kami pun berpisah dan kembali melaksanakan tugas masing-masing. 

¹ia yang menolongmu kemarin
²kondisi di mana aliran darah ke tungkai tersumbat akibat penyempitan pembuluh darah yang berasal dari jantung

LakunaWhere stories live. Discover now