Kapitel 4.3

12.5K 804 13
                                    

Aku tidak tau jika normalnya waktu di sini memang berjalan dengan cepat atau segala kejadian di sini membuatku lupa akan waktu. Tapi yang pasti, waktu terasa berjalan sangat cepat. Hari ini adalah hari terakhirku di Medic Center. Hari terakhir aku membantu di sini sebelum aku kembali ke negaraku sendiri.

"Tolong cek temperaturnya 3 jam lagi. Jika ada penurunan, ia sudah dapat pulang siang ini dan jangan lupa berikan beberapa obat yang sudah saya tulis" ucapku kepada seorang perawat yang sedari tadi berdiri di sampingku.

"Oke, semuanya ayo kumpul dulu di sini" ucap Julian, mengumpulkan seluruh dokter yang saat itu sedang berada di dalam Medic Center.

"Berhubung malam ini adalah malam terakhir kita di Medic Center, kita bakal rayain dengan barbecue!"

Para dokter yang saat itu sedang mendengarkan pengumuman dari Julian pun bertepuk tangan dan bersorak dengan gembira. 

"Jadi malam ini jam 7 kita ngumpul di depan sana oke? Sekarang.... kerja dulu"

"Semangat semuanya" lanjut Julian.

Tatapanku tidak sengaja bertemu dengan tatapan Alvaro yang sedang berdiri di depanku. Ia tersenyum sambil berjalan menghampiriku.

"Na, gue tinggal dulu ya" ucap Nike sambil menepuk pundakku pelan.

"Besok, lo ambil flight jam berapa?" tanya Alvaro.

"Jam 5 sore"

"Oh" balas Alvaro singkat. 

"Memangnya kenapa?" 

"Gue...."

"Dokter Hanna, anda dibutuhkan di UGD" teriak seorang perawat.

"Gue pergi dulu, kita lanjut nanti ya" ucapku sebelum berlari menuju UGD, meninggalkan Alvaro yang masih berdiri diam di sana.


Dengan Nike, Orin dan Wira, aku berjalan ke tempat di mana kami akan melakukan acara perpisahan dengan melakukan barbecue sambil duduk santai. Aku mengambil tempat duduk yang masih kosong, di sebelah kiriku ada Nike dan di depanku ada Orin dan juga Wira.

"Dokter yang lainnya mana ya?" tanya Kiara sambil menuang segelas soda.

"Iya mana sih, gue udah sengaja dandan cantik gini juga" lanjut Fani.

"Mana sini coba liat" ucap Rendy sambil menatap wajah Fani dengan dekat.

"Kok ga ada bedanya ya?" 

"Ih,  apaan sih!" 

"Eh eh dateng tuh" perhatian dokter-dokter yang sudah berkumpul di tempat itu pun teralihkan pada sekelompok dokter lainnya yang sedang berjalan ke arah kami.

"Gue udah rapih kan?" tanya Fani kepada Kiara sambil merapikan rambutnya.

"Dokter Alvaro di sini masih kosong" aku dapat melihat Fani yang menarik bangku sebelah kanannya yang masih kosong.

Alvaro melewatinya dan berjalan ke arah yang berlawanan. Sesuai dugaanku, ia berjalan ke arah bangku yang masih kosong tepat di sebelahku. Ia menariknya dan duduk di sampingku.

"Halo dokter Hanna" ucapnya sambil menepuk lenganku.

Aku hanya dapat menunduk, aku tau perhatian semua dokter kini tertuju padaku. Ini cukup memalukan, karena tidak biasanya aku memperlihatkan sisi seperti ini di depan mereka.

"Ada yang bisa bantu panggang daging?" tanya Rendy yang sedang menyiapkan peralatan untuk memanggang daging.

"Gue!" ucapku antusias sambil berdiri dari tempat dudukku.

Alvaro menarik lenganku, membuatku kembali duduk.

"Biar gue aja" ucapnya sambil berdiri dari tempat duduknya.

Aku gagal melarikan diri darinya tapi setidaknya ia mengambil tugas itu dan aku dapat membiarkan jantungku berdetak dengan normal tanpa Alvaro di sampingku.

"Kosong kan? Gue duduk di sini ya" ucap Julian sambil mengambil tempat duduk di samping Fani yang masih kosong.

Pandangan Fani masih terpaku pada Alvaro yang menolak tawarannya tadi. Ia melipat kedua tangannya, begitu juga dengan wajahnya yang terlihat pahit.

Malam itu, suasana terasa sangat baik. Kami membicarakan banyak hal, mulai dari kehidupan kami di Indonesia hingga sejumlah pasien 'aneh' yang kami hadapi. Semuanya tersenyum, malam itu terasa hangat.

Saat yang lainnya sedang melanjutkan perbincangan, aku diam-diam melangkah pergi menuju suatu tempat yang ingin ku nikmati pada malam terakhirku sebelum aku meninggalkan negara ini. Di atas Medic Center yang ukurannya tidak cukup besar, ada sebuah rooftop yang dihiasi dengan beberapa tanaman kecil. Ditambah dengan bintang-bintang yang malam itu terlihat melengkapi langit, membuatnya terlihat seperti sebuah lukisan.

"Cantik ya"

Alvaro berjalan dan berdiri tepat di sampingku sambil membawa dua gelas hot chocolate, salah satunya ia serahkan kepadaku.

"Langitnya maksud gue" ucap Alvaro.

"I know" balasku sambil mengambil segelas hot chocolate yang diberikannya kepadaku.

"Lo juga"

Aku menatapnya dengan ekspresi datar dan meneguk hot chocolate itu.

"Langit itu ga adil ya, dari sekian banyak hari dia baru keliatan cantik pada hari perpisahan"

"Bukan langit yang ga adil tapi, kita yang gak pernah meluangkan waktu untuk melihat ke atas" aku kembali menatap langit yang malam itu memang terlihat cantik.

"How is it?" tanya Alvaro.

"Semuanya terasa cepat, awalnya gue ga duga gue akan melekat dengan tempat ini dalam kurun waktu yang terkesan singkat. Gue belajar kalau mengatasi pasien itu harus dipisahkan dari perasaan. Yang terpenting adalah memenuhi tanggung jawab dan janji gue sebagai dokter yaitu untuk menolong orang yang membutuhkan dengan kedua tangan ini" ucapku sambil mengangkat kedua tanganku.

"Itu kenapa gue selalu tanam ini di pikiran gue. Hiduplah hari ini, bermimpilah tentang besok. Karena kau tidak tau apa yang akan terjadi selanjutnya"

Alvaro tersenyum, begitu juga denganku. Suara tawa dari para dokter yang masih berbincang di bawah mengalihkan perhatian kami.

"Oh, sebentar" aku memberikan segelas hot chocolate milikku kepada Alvaro dan menekuk lututku untuk mengikat tali sepatuku yang lepas. Setelah selesai mengikatnya, Alvaro kembali menyerahkan gelas hot chocolate itu kepadaku.

"Gue rasa sepatu itu udah ketemu sama pemilik yang sesungguhnya" ucap Alvaro.

"M..maksudnya?" tanyaku bingung.

"Malam itu, tanpa mengetahui dengan siapa gue akan dijodohkan gue persiapin sepatu itu sebagai hadiah. Gue pikir, sudah sepantasnya gue datang tanpa tangan kosong. Akhirnya, gue memutuskan buat beli sepatu itu sambil menebak ukuran kaki perempuan pada umumnya. Gue pikir gue ga akan punya kesempatan buat kasih sepatu itu ke lo karena perpisahan kita yang mendadak itu. Tapi untungnya gue sempat kasih itu ke lo dan tanpa gue duga sepatu itu pas di kaki lo"

Aku menatap sepasang sepatu yang berada pada kakiku.

"Alva, thank you ya"

"Buat?" tanya Alvaro.

"Buat sepatu ini, buat apa yang udah selalu lo lakuin ke gue selama gue di sini, buat kata-kata lo yang selalu berhasil bikin gue tenang dan yang terpenting, terima kasih udah jadi temen gue. Setelah ini, gue pengen kita tetep bisa temenan seperti ini. Bisa kan?"

Alvaro menunduk untuk beberapa saat sebelum akhirnya tersenyum dan kembali menatapku.

"Hanna, sini ikut foto!" teriak Nike dari bawah.

"Gue rasa kita udah harus balik" ucapku sambil berlari ke bawah.

Alvaro yang saat itu masih berdiri pada tempat yang sama tak bisa melepas pandangannya dari Hanna.

"Teman. Gue takut gue ga akan bisa" ucap Alvaro.

LakunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang