Kapitel 3.2

12.9K 796 2
                                    

Operasi berjalan dengan lancar. Sekeluarnya dari ruangan itu, aku berjalan menuju pintu keluar Medic Center dan duduk pada salah satu anak tangga yang berada di luar. Aku mengeluarkan foto yang tadi sempat aku masukkan ke dalam saku bajuku.

Foto ini diambil saat aku baru saja lulus dan di sana masih ada papa yang berdiri dengan bangga di sampingku dan mama. Sebuah hari yang tidak dapat ku lupakan, hari di mana aku melihat senyuman bangga dari wajah papa yang selalu mendukung keputusanku. Aku ingat betul saat-saat di mana papa berlari ke arahku sambil membawa seikat bunga matahari yang merupakan bunga favoritku sejak kecil. Papa adalah alasan aku tetap bertahan di dunia ini.

"Hot chocolate?" tanya Alvaro sambil menyuguhkan segelas coklat panas kepadaku.

"Terima kasih" aku mengambil gelas tersebut dan memegangnya, membuat tanganku yang sebelumnya dingin menjadi hangat.

Alvaro duduk pada anak tangga yang sama denganku, kami duduk bersebelahan sambil menikmati hot chocolate masing-masing dan memandang bintang yang menghiasi langit malam itu.

"Itu apa?" Alvaro menunjuk foto yang tadi sempat ku pegang.

Aku memberikan foto itu kepadanya.

"Ini nyokap lo dan yang ini....?" ia terlihat cukup kebingungan saat melihat pria yang berdiri di sampingku dan mama.

"Papa" ucapku.

"Papa meninggal satu minggu setelah gue lulus dan saat itu gue hampir nyerah. Apa gue harus bertahan di dunia ini? apa gue sanggup? Itu yang selalu ada di pikiran gue . Setelah kejadian itu, gue pikir akan lebih baik kalau gue lanjutin usaha keluarga tapi gue ga sengaja nemu ini di ruang kerja papa" aku mengeluarkan lembaran kertas yang ku lipat menjadi sebuah lipatan kecil dari dompetku dan memberikannya kepada Alvaro.

"Surat itu ditulis papa waktu gue lulus tapi papa ga berani kasih langsung ke gue karena dia takut putri satu-satunya  nangis di hadapannya dan dia benci hal itu. Gue masih ingat kalimat demi kalimat yang ada, khususnya kalimat terakhir surat itu"

Alvaro membuka lipatan surat itu dan membacanya sambil tersenyum tipis.

"Banyak orang yang membutuhkanmu di luar sana, kedua tanganmu itu dibutuhkan oleh mereka. Itu kalimat terakhir yang di tulis papa"

"Menjadi seorang dokter, gue selalu takut akan fakta bahwa nyawa pasien gue ada di tangan gue. Tanggung jawab yang begitu besar"

Alvaro mengalihkan pandangannya kepadaku.

"Itu kenapa dokter selalu bilang kalau kita akan mengusahakan yang terbaik, karena yang ada di depan kita hanyalah ketidakpastian tapi..." Alvaro berhenti sejenak.

"Kita memang ga bisa bikin hidup pasien kita bertambah panjang, setidaknya kita bisa bantu dia untuk sembuh dan menikmati sisa waktu hidupnya. Akan lebih baik kalau lo tanam itu di pikiran lo"

Aku membalasnya dengan sebuah anggukan. Alvaro benar, aku harus melupakan beban itu.

"Gue yakin bokap lo lagi tersenyum bangga di atas sana memandang putrinya yang telah menjadi seorang dokter hebat" ucap Alvaro sambil menatapku.

Tatapanku bertemu dengan tatapannya. Aku tersenyum tipis, begitu juga dengannya. Aku mengalihkan pandanganku pada bintang-bintang kecil yang bersinar dengan terang di atas sana. Alvaro benar, papa pasti sedang tersenyum bangga di atas sana.

"Mau ikut gue liat Charlotte?" tanyaku kepada Alvaro yang sedang menikmati pemandangan yang sama denganku.

"Sure"

Kami berjalan menuju NICU, sejak kemarin Charlotte berada di ruangan itu agar dapat diawasi secara ketat dengan kami.

"She's cute, isn't she?"

"Indeed, she is" balas Alvaro.

Aku menghela nafas panjang sambil memandang Charlotte, meskipun terpisahkan oleh kaca besar yang menutup ruangan ini.

"Waktu saat-saat terakhir ibu nya Charlotte, dia sempat berpesan buat jagain Charlotte. Tapi gue khawatir."

"Apa yang lo khawatirin?" tanya Alvaro sambil mengalihkan pandangannya kepadaku.

"Gue khawatir gue ga bisa ngelaksanain itu. Setelah gue pulang dari sini, gimana gue bisa tetap jagain Charlotte? Gue tau untuk bawa Charlotte ikut bersama gue akan sangat sulit dan gue juga ga bisa semudah itu meninggalkan pekerjaan gue untuk jagain Charlotte di sini"

Aku menatap Alvaro yang sedang menatapku sambil terdiam.

"Ah sorry, seharusnya itu hanya jadi kekhawatiran gue aja" aku berjalan keluar dari Medic Center, diikuti Alvaro yang mengikuti langkah kakiku dari belakang.


"Udah malam, gue masuk dulu ya" ucapku kepada Alvaro yang mengikutiku sampai ke depan tenda tempat aku beristirahat.

"Tentang kekhawatiran lo tadi" ucapan Alvaro menghentikan langkah kakiku yang hendak berjalan masuk ke dalam tenda.

"Gue punya solusinya"

"Apa?" dengan antusias aku menunggu jawaban itu keluar dari mulutnya.

"Besok gue bakal pergi ke Frankfurt buat ambil beberapa stok obat-obatan yang udah mulai menipis dan kebetulan solusi yang gue sebut tadi ada di dekat sana, lo mau ikut?"

"Tapi, tugas gue di sini gimana?"

"Masih ada dokter yang belum kebagian tugas kok besok, lo bisa gantian jadwal sama mereka"

"Uhm.."

Alvaro menaikkan alis sebelah kirinya dan menunggu jawaban dariku dengan tatapan penuh penasaran.

"Oke, gue ikut"

"Oke, besok kita berangkat jam 8 pagi"

Aku tersenyum dan mengangguk dengan penuh semangat.

"Okay, I'll see you tomorrow" Alvaro tersenyum dan berjalan ke arah di mana tendanya terletak. Langkahnya terlihat penuh semangat saat aku melihatnya berjalan sambil mengayunkan tangannya ke depan dan belakang, layaknya seorang anak kecil yang berjalan menuju sebuah toko mainan. Aku pun hanya dapat menertawakan tingkahnya dari belakang. 

LakunaWhere stories live. Discover now