Kapitel 2

15.9K 926 7
                                    

Jerman. Negara ini terasa asing bagiku, aku tidak pernah mengunjunginya sekali pun. Saat aku menghirup udara di sini, rasanya begitu bersih dan segar. Pemandangan di sini juga indah, semuanya terasa sempurna. Tapi, satu hal yang perlu menjadi pengingat. Kedatanganku di sini bukan untuk liburan dan bersenang-senang, melainkan untuk melaksanakan tugasku sebagai seorang dokter.

Sekeluarnya dari bandara, kami masuk ke dalam bus kecil yang akan membawa kami ke sebuah desa di Cochem. Semua bangunan terlihat hancur, banyak fasilitas umum yang sudah tidak berbentuk. Bahkan selama perjalanan, aku terus-terusan mendengar suara ambulans tanpa henti.

Perjalananku di Jerman, di mulai di sini.

Sambil membawa koperku, aku berjalan menyusuri tempat yang akan menjadi base camp kami selama di sini. Semuanya mendadak berdiri terdiam saat melihat perwakilan kedutaan besar Indonesia di Jerman.

"Herzlich willkommen¹" ucapnya, menyambut kami dengan hangat.

 "Selama di sini, kalian akan bekerja sama dengan tim medis dari Asklepios Klinik Barmbek untuk membantu korban bencana gempa di Cochem dan jangan khawatir, karena beberapa Dokter yang akan menjadi guide kalian selama di sini adalah dokter dengan kewarganegaraan Indonesia ataupun dokter yang fasih dalam berbicara Indonesia. Itu saja pesan saya, selamat bertugas" setelah mengakhiri pidato singkatnya dan bersalaman dengan kami, kami diarahkan untuk pergi ke sebuah tenda berukuran besar yang aku yakini akan menjadi tempat tidur kami selama di sini.


"Ini tempat tidur kita? Ga salah?" tanya Erlin sambil menatap tenda tersebut dengan tatapan merendahkan.

"Astogenggg tendanya terbuka gini dan ga ada AC, terus kalau malam-malam ada serangga yang masuk gimana?" lanjut Orin.

"Kalian tidur di sini cuman 2 minggu, bukan 2 bulan" ujar seorang pria sambil berjalan ke arah kami.

Mendengar suara pria tersebut, dengan cepat kami menghadap ke arahnya. Di sana ada 5 dokter yang sedang menatap kami dengan tatapan dingin dan salah satunya adalah... Alvaro.

"Eh, halo. Kenalin, nama saya Fani" aku sudah cukup terbiasa melihat Fani seperti ini, selalu menjadi yang paling pertama maju ketika ada seorang pria tampan di hadapannya dan menjadi yang paling terakhir maju saat berurusan dengan pasien. Aku pun cukup terkejut pihak rumah sakit masih memilihnya untuk pergi ke sini.

Fani mengulurkan tangannya kepada Alvaro. Sayangnya, Alvaro hanya terdiam dan tidak membalasnya. Kami yang berdiri di belakang Fani pun berusaha untuk menahan tawa tapi sayangnya gagal. Dengan cepat aku menghentikan tawaku saat Alvaro tiba-tiba menatapku dengan tajam.

"Iya halo, nama saya Julian" seorang pria maju untuk bersalaman dengan Fani, meskipun aku tau harapannya adalah Alvaro yang memegang tangannya.

"Sekarang, silahkan merapikan barang kalian. Pukul 3 sore nanti, kita akan berkumpul di Medic Center untuk pembagian tugas. Jika kalian membutuhkan bantuan kami, tenda kami ada di sana" Alvaro memberi penjelasan singkat dan meninggalkan kami. Setelah ia pergi, semuanya pun mulai membicarakan Alvaro yang sebelumnya  pernah datang ke rumah sakit kami.

Aku dan Nike  masuk ke dalam tenda kami berdua. Di dalamnya, hanya terdapat sebuah meja kecil di samping masing-masing tempat tidur yang berukuran pas untuk satu orang dan tempat untuk meletakkan baju kami.

"Na, kira-kira kita bakal di suruh ngapain aja ya? Gue nervous nih" ucap Nike sambil melipat bajunya yang baru saja ia keluarkan dari koper kecilnya.

"Ga beda jauh lah seharusnya, Ke. Sama aja kayak tugas kita di rumah sakit biasanya, bedanya kali ini kita di negeri orang aja" balasku dengan santai.

Setelah merapikan barang-barang kami, kami tiba di Medic Center tepat pada waktunya. Beberapa menit kemudian, Alvaro dan para dokter lainnya pun tiba. Mereka menjelaskan fungsi dari Medic Center ini serta obat-obatan dan alat yang terdapat di dalamnya. Tanpa membuang waktu lama-lama, kami di bagi menjadi beberapa kelompok sesuai dengan tugas kami.

"Dan yang terakhir, untuk Wira, Rendy, Nike dan Hanna akan mengikuti saya dan Gerald untuk berkeliling dengan tim evakuasi" ucap Alvaro.

Lagi-lagi aku dipersatukan dengannya.

"Saya rasa sudah cukup jelas jadi, silahkan mengambil peralatan kalian dan melakukan tugas masing-masing"

Aku pun dapat melihat ekspresi kurang puas Fani dengan pembagian tugas tadi. Seandainya aku dapat menukar posisiku dengannya, aku akan melakukannya dengan senang hati.


"Tegang?" tanya Alvaro sambil mengambil beberapa peralatan dan memasukkannya ke dalam tas medis.

"Ngak" balasku singkat.

"Kalau ngak tegang, muka lo ga akan se-pucat itu"

Dengan cepat aku mengangkat handphoneku untuk memeriksa wajahku.

"Keliatan ya?"

"Ngak" Alvaro mengangkat tas medis miliknya.

"Ngak salah lagi"

Tak kuat menahan rasa geramku, aku berdiri dari tempat dudukku dan mengangkat tangan kananku untuk memukul lengannya. Tapi nampaknya, gerakan Alvaro lebih cepat dari gerakanku. Ia menahan tanganku yang sedang melayang di udara.

"Ga usah takut, ikutin gue aja" ucap Alvaro dengan pelan.

Aku melepas tanganku darinya dengan paksa.

"By the way, kayaknya gue kenal sepatu itu" Alvaro menatap sepasang sepatu putih yang sedang ku pakai. Ya, sepatu putih itu adalah sepatu yang dipinjamkan Alvaro 3 bulan yang lalu.

Aku dapat merasakan panas dari pipiku setelah Alvaro berjalan keluar dari storage room. Rasanya aku berdoa untuk tidak kembali dipertemukan dengan pria itu tapi, mengapa aku terus-terusan bertemu dengannya?

¹Selamat datang

LakunaWhere stories live. Discover now