Si Jenius Dua

444 55 11
                                    

"Terlalu mengejar kesempurnaan membuat kita lupa bagaimana caranya menikmati hidup."
Arjeno Dirgantara -Jeno-

***


Jika Jeno bisa memilih, ia ingin menjadi orang yang biasa-biasa saja. Belajar, mengikuti les privat sepulang sekolah, belajar lagi malam harinya, selalu menjaga nilainya agar tetap stabil merupakan hal yang melelahkan.
Dan bersaing dengan Renjun termasuk hal yang paling melelahkan.

Seolah kerja kerasnya tak pernah cukup. Semua tenaga sudah dia kerahkan agar bisa memenuhi perintah Papa nya.

"Kamu harus bisa menjadi yang terbaik!"

Jeno berpikir, mungkin jika dia tidak satu lingkup dengan Renjun dia lebih mudah menjadi yang terbaik di sekolahnya.
Pernah satu kesempatan Jeno ingin pindah sekolah, semata-mata agar terpisah dengan Renjun. Dia bukan saingannya, Renjun terlalu jenius. Mengetahui itu, Papa nya menentang keras. Justru menyuruh Jeno membuktikan bahwa dia bisa mengalahkan Renjun.

"Buktikan kamu bisa lebih hebat daripada dia."

Jeno ingin mati saja rasanya.
Dia tidak iri dengan apa yang Renjun capai. Juga tidak tertarik bersaing dengan siswa paling cerdas di sekolahnya. Namun keadaan yang membuat Jeno harus seperti ini.

Setidaknya, dia sedikit bersyukur tidak satu kelas dengan Renjun.
Tidak bisa dibayangkan jika mereka satu kelas, Jeno harus berusaha menjadi yang terbaik di kelasnya dan terus berjuang untuk meraih peringkat satu paralel.

Sebut saja Jeno pecundang yang takut bersaing.
Sungguh dalam hatinya dia tidak peduli. Memang dia pecundang.
Menentang perintah Papa nya agar dia merdeka atas hidupnya sendiri saja dia tidak berani.

"Ganteng." Ucap wanita yang tiba-tiba berada di sebelah Jeno. Menatap lurus kedepan dimana wajah dua orang paling pintar di sekolah terpampang.

"Yang mana?" Tanya Jeno.

Menunjuk salah satu foto, wanita itu menatap Jeno sambil menyengir, "Renjun."

"Lebih ganteng lagi kalau nggak galak." Lanjutnya

"Dia galak terus, Lia." Kata Jeno.

"Jeno nggak kenal Renjun, sih. Dia itu sebenernya baik. Tapi sama orang yang kayak aku." Ucap wanita bernama Lia tersebut.

"Kalau Jeno geser Renjun lagi kesini, --menunjuk posisi ke dua--
Jeno nggak bisa lihat sisi Renjun yang baik. Dia ngga suka kalah." Lanjutnya lalu bergegas meninggalkan Jeno dengan melambaikan tangan.

Iya, Jeno pernah sekali menggeser peringkat pertama paralel Renjun. Dan sejak itu hidupnya menjadi tambah sulit. Bendera perang berkibar tanpa di komando, keduanya secara naluri ingin membuktikan siapa yang terbaik.
Renjun semakin meningkatkan prestasinya dan Jeno kelimpungan mengejarnya.

Masuk kedalam kelas yang belum terlalu ramai, Jeno mengeluarkan ponselnya. Kapan lagi dia bisa bermain game online, dia tidak mau mengambil resiko memainkan nya di rumah. Papa nya akan marah besar.

"Nggak ajak-ajak lu, parah banget!" Ucap Haekal Chandra Purnama teman sebangku Jeno yang baru saja tiba.

Jeno mendongak sekilas, memastikan apa benar dia Haekal Chandra teman sebangkunya yang akrab dipanggil Haechan. "Tumben banget lo berangkat pagi?"

"PR bahasa udah lu kerjain kan ya pastinya."

"Oh, pantesan." Jeno bergumam. Tentu saja Haechan berangkat pagi karena ada sesuatu. Jika tidak, dia pasti datang 3 menit sebelum bel masuk berbunyi.

Perfecti[no]ism (REST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang