-02-

294 41 8
                                    

"Guys, kelas sebelah tadi Ulangan dadakan! Ramalan gua, ntar kelas kita juga." Haechan yang masuk kelas dengan berlari langsung menyeru tentang informasi yang dia dapat.

"Serius lo!?"

"Percaya sama gua kali ini aja!"

"Ah, nggak mau. Musyrik." Celetuk Naja menanggapi Haechan.

"Serah lah, serah. Jen, belajar Jen!" Haechan mengguncang lengan Jeno yang asik memainkan game online.

"Tau dari mana lo?" Ucap jeno yang masih fokus pada layar di depannya.

"Kelas sebelah tadi mukanya udah kayak orang nggak punya harapan, gua tanya kenapa ternyata fisika ulangan dadakan." Jelas Haechan menggebu.
"Ntar jam pertama buat belajar sisa nya Ulangan. Soalnya hampir sama di paket pembahasan terakhir."

Setelah mendengar hal tersebut, Jeno mematikan ponsel dan menggantinya dengan buku paket fisika miliknya.






"Anak-anak, semua buku harap dimasukkan. Hanya ada alat tulis di meja. Hari ini kita Ulangan dadakan." Kata guru yang baru saja masuk.

Haechan langsung mendongakan kepala, merasa bangga karena apa yang ia ucapkan benar terjadi.

"Kita mulai Ulangan nya sekarang. Ketua kelas, bagikan soal Ulangan yang sudah saya siapkan di meja." Saat Jeno berdiri bersiap, Haechan mengangkat tangan.

"Ada yang mau dipertanyakan, Haekal?" Tanya sang guru.

"Nggak adil, Bu. Kelas sebelah aja dikasih waktu satu jam pelajaran buat belajar dulu baru di mulai Ulangan nya. Masa kelas ini nggak gitu, jangan diskriminasi, Bu!"

"Kok kamu tahu?" Tanya Guru tersebut, "padahal saya nggak kasih tahu ke siapapun sebelumnya."

"Kalau begini ceritanya, nggak Ulangan dadakan namanya. Udah pada tahu, ya, ternyata?" Retoris guru tersebut, "padahal rencana saya mau kasih kalian kompensasi di 15 menit terakhir boleh buka buku. Tapi saya tarik, deh, niat saya."

Haechan dengan mulut tanpa rem nya.

Sontak satu kelas riuh tidak terima oleh keputusan akhir sang guru. Dan Haechan yang menjadi pelaku utama terjadinya keputusan tersebut.

"Bu, yang tahu cuma Haekal Chandra, Bu!" Pekik Naja ditengah riuhnya kelas, "biar cuma Haechan aja yang nanggung, kita jangan."

"Heh! Gitu amat lu jadi temen. Gua tadi teriak, ye! Seluruh kelas pada denger!" Ucap Haechan tidak terima.

"Gue nggak denger, gue bukan temen lo." Lirih Naja menutup telinganya.

"Sudah! Sudah!" Sang guru menengahi. "Jeno, bagikan soal nya sekarang."



Setengah jam Ulangan berlangsung, tubuh Haechan tidak bisa diam. Kepalanya menoleh kesana kemari mengawasi pergerakan Guru.

"Jen..., bagi liat, Jen!" Bisik Haechan pada Jeno yang masih fokus mengerjakan soal. "Gua masih kosong semua, nih."

"Bentar." Gumam Jeno.

"Ah lama lu, keburu waktu habis gua belom nyalin!" Raut muka Haechan mulai panik.

"Haekal Chandra Purnama, sekali lagi saya tahu kamu gusrak-gusruk nyari sontekan, kamu pindah di meja saya, kerjakan disini." Peringat sang guru kepada Hechan yang sedang mengganggu Jeno.



"Mantep tembus, nih!" Naja membuka sontekan kecilnya yang sudah dia siapkan sebelum bel masuk. Dan beruntunglah catatan kecil yang dia buat hampir semua tembus.

"Eh! Parah lo pake gituan. Curang anjir!" Naja tidak menghiraukan ucapan Nata. Dirinya tetap sibuk menyalin rumus soal yang keluar.

"Heh kok masih kosong? Goblok banget!" Ucap Naja saat melihat lembar jawaban Nata belum terisi.

"Heh! Lo bawa contekan ya, Bambang! Ngga usah sok pinter lo. Mana gue kasih liat." Waktu terus berlalu dan Nata benar-benar kesulitan menjawab semua soal. Dia melihat lembar jawaban teman sebangkunya yang sudah penuh terisi.

"Dih, apaan. Usaha dong!" Sewot Naja saat Nata melirik hasil jawabannya. Lalu Naja menutup lembar jawaban dengan soalnya.

"Nih, usaha sendiri. Tembus semua tuh." Tawar Naja memberikan catatan kecil miliknya.

"Nggak mau, curang!"

"Lo liat punya gue juga namanya sama-sama curang. Noh liat, bisa lo baca tulisan gue?" Nata melirik lembar jawaban Naja dan benar, kepalanya pusing melihat tulisan teman sebangkunya. Tidak ada spasi, tulisan agak miring dan latin kecil.

"Mau apa enggak?" Tanya Naja sekali lagi.

Nata membuang pandangan nya namun tangannya menodong. "Yaudah sini kalo situ maksa."


Dan benar saja, rumus yang Naja tulis di kertas kecil tersebut hampir semuanya keluar. Nata sibuk menyalin rumus hingga tidak sadar-,

"Kreatif sekali usahanya."

-sang Guru berada tepat dibelakang nya.




"Eh kaget gue!" Bukan suara Nata, tapi suara Haechan yang sibuk menyalin hasil jawaban Jeno.

Suara robekan kertas membuat seluruh atensi tertuju pada satu titik. Nata memandang nanar kertas jawabannya.
"Keluar, saya langsung kasih nilai 0 dan kamu harus ikut remidial untuk memperbaiki nilai."

"Naja juga, Bu!" Ucap Nata tidak terima.

"Heh, kok fitnah!" Bela Naja.

"Benar, Naja?" Tanya guru tersebut.

"Bener, sih." Jujur Naja dengan santainya, "itu juga kertas contekan saya."

"Kalian berdua keluar!" Final guru tersebut.

"Punya saya nggak disobek juga, Bu?" Tanya Naja.

"Goblok, keluar aja goblok ntar kita kena hukuman lainnya." Gumam Nata menarik lengan Naja keluar dari kelas.

Sedangkan Jeno, menatap kepergian dua teman sekelasnya. Ah, dirinya lebih menatap punggung Nata yang semakin menjauh. Apakah gadis itu baik-baik saja setelah kejadian tersebut?

Kenapa dirinya harus khawatir, setiap ada Naja di samping Nata, seharusnya Jeno yakin wanita itu baik-baik saja.


***

Kalau kalian bisa milih, lebih milih jadi murid di kelasnya

Renjun?

Atau

Jeno?

Semarang, 24 Maret 2020
Published : 8 April 2020

Perfecti[no]ism (REST)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن