-05-

221 36 12
                                    


"Papa kamu membayar mahal saya biar nilai mu naik di Semester ini." Ujar Guru les baru Jeno. "Jadi bilang seandainya kamu nggak nyaman dengan metode mengajar saya, nanti kita diskusikan bareng-bareng."

"Iya, Kak." Jawab Jeno singkat.

Jeno harus berterima kasih pada seseorang yang merekomendasikan Kak Kuncoro pada Papa nya. Guru les barunya tidak terlalu tua seperti sebelumnya. Pembawaan nya santai membuat Jeno nyaman ketika les berlangsung. Papa nya tertarik pada Kak Kun setelah salah satu koleganya bercerita jika nilai putranya meningkat setelah mengikuti les privat dengan pria muda tersebut.
Jeno hanya berharap Papanya tidak mengganti guru lagi.


___



Menjadi tokoh masyarakat, membuat Papa Jeno harus menjaga kesehatan. Dirinya rutin kerumah sakit untuk cek kesehatan sekalipun kondisi nya baik-baik saja.

Dan hal yang paling Papa Jeno benci adalah jika dirinya bertemu dokter unggulan di Rumah Sakit tersebut, dia muak melihat wajah dokter itu sekalipun sang dokter diam saja. Memaksakan senyum sebagai formalitas saat dia persimpangan dengan sang Dokter yang bersama anaknya.

Ah, bukankah dia saingan terbesar anaknya. Pikir Papa Jeno.
Mengamati lelaki tersebut yang berdiri di sebelah Ayahnya sambil membawa buku tebal. Dari penampilannya pun sudah terlihat jika anak itu orang pandai.

"Selamat siang, Tn. Dirgantara. Sedang Check up?" Sapa Ayah Renjun.

"Selamat siang, Dokter. Ah, iya, sudah menjadi rutinitas." Jawab Papa Jeno ramah. "Bersama anak?"

"Iya, anak sulung saya Renjun. Dia sering berkunjung ditempat kerja ayahnya hanya untuk mengamati bagaimana saya berkerja atau terjun secara langsung mempelajari dunia medis." Jawab Ayah Renjun memberi kode agar anaknya memberi salam.

"Siang, Om. Papanya Jeno, kan?" Sapa Renjun

"Siang, Nak Renjun. Saya sering mendengar nama mu. Peringkat satu paralel. Hebat!" Ucap Papa Jeno menepuk pundak Renjun.

"Jeno juga pernah peringkat satu paralel, menggeser ku. Sekali." Jawab Renjun dengan senyum yang entah apa artinya.

"Sayang sekali hanya sekali. Mungkin saingan nya terlalu berat  jadi susah untuk di geser." Ucap Papa Jeno dengan pembawaan yang santai. "Beri tahu Om apa rahasia mu, Nak." Ayah Renjun hanya diam mengamati perbincangan dua orang ambisius dihadapan nya.

"Renjun pinter karena hobi membaca dan dari sananya, Om. Jeno juga pasti rajin membaca, soalnya dia pinter walaupun masih pinteran aku." Ucap Renjun santai dan mendapatkan cubitan kecil dari Ayahnya.

"Maafkan anak saya, dia terlalu percaya diri." Ujar Ayah Renjun sungkan.





Setelah perbincangan singkat tadi, Papa Jeno benar-benar muak melihat Dokter dan anaknya itu. Hasrat untuk menjadikan Jeno yang terbaik semakin besar. Jeno harus mengalahkan kesombongan dari anak dokter tadi.

Membuka kamar Jeno, dirinya diperlihatkan anaknya yang sedang serius dengan ponsel.
Jeno yang tertangkap basah oleh Papanya refleks mematikan ponselnya. Sadar akan suasana hati Papanya sedang buruk, Jeno sudah menebak nasib nya akan berakhir dengan buruk sebentar lagi.

"Bisa-bisa nya kamu ngegame, disaat saingan kamu sedang fokus belajar biar nggak ada yang bisa jatuhin dia!" Ucap Papanya tenang namun berhasil membuat Jeno merinding. Dirinya hanya menunduk takut hanya untuk melihat wajah Papanya yang menahan amarah.

"Liat Papa!" Menarik rambut Jeno kuat, empunya meringis kesakitan. Tangannya menahan cengkeraman agar tidak terlalu kuat. Menyeret Jeno dan mendudukkan nya di meja belajar, Papa Jeno meraih buku terdekat dan menampar pipi Jeno dengan buku tersebut.

Perfecti[no]ism (REST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang