-04.5-

234 42 4
                                    

Tangan seniman itu berayun indah diatas kanvas putih yang mulai berwarna "Kenapa akhirnya kamu memutuskan berada disini?"

"Karena Ayah yang mau." Jawab Renjun jujur. Toh, dari awal dirinya memang tidak terlalu berminat berada disini.

"Jadi, bukan karena keinginan kamu sendiri?" Renjun mengangguk menanggapi.

"Bicara tentang Ayah mu, kita sering berbagi cerita. Kata beliau, anak sulungnya sangat pintar." Mendengar hal tersebut, Renjun tidak bisa menyembunyikan senyum bangganya.

"Karena saya suka pelajaran akademis, saya mau jadi orang yang hebat." Giliran sang guru yang mengangguk.

"Kamu terlihat bangga akan hal itu, ya." Retoris Pak Fene.

"Memang."

"Berarti kamu juga harus bangga karena tertarik dengan seni."

"Tapi saya biasa aja. Kenapa harus bangga?" Tanya Renjun heran. Jujur saja, sekali lagi dirinya hanya iseng di dunia seni. Jika Renjun sedang merasa jenuh mengerjakan rumus-rumus, baru dirinya meraih pensil atau membuka Ipad nya untuk menggambar.

"Dibalik seni juga mempunyai banyak kehebatan, Nak." Ucap Pak Fene yang masih fokus pada lukisannya, atensi Renjun juga berada dimana tangan gurunya bekerja.

"Yang mereka tahu, seni hanya menciptakan sesuatu yang indah. Namun nyatanya tidak selalu seperti itu, bukan?" Kata Pak Fene sambil melirik lukisan di sebelahnya, milik Renjun. Pemilik lukisan itu merengut, walaupun memang lukisannya buruk tapi tetap saja dia tidak terima lukisannya disinggung secara halus. Namun begitu dirinya tidak berkomentar.

"Seni itu membuat semua konsepsi menjadi luas dengan cara berimajinasi." Lanjutnya.


Beberapa menit saling diam, Renjun mengeluarkan suara. "Bapak... selama ini hidup layak, nggak?"

"Maaf?" Atensi Pak Fene berpindah memandang murid barunya.

"M-maksud saya..., jadi seniman sampai bapak berumur... em...," ucapan Renjun terbata, dirinya bingung merangkai kata agar etis didengar.

Pak Fene tersenyum, paham akan apa yang Renjun maksud. "Saya penasaran, kamu ingin menjadi orang yang hebat, memangnya kelak kamu ingin menjadi apa?" Tanya Pak Fene balik.

"Dokter."

"Yakin sekali," Pak Fene terkekeh, "seakan-akan dokter itu pilihan atau kunci utama dalam hidup,

nyatanya...,--menggelengkan kepala--" pria yang lebih tua tersenyum teduh.

"Tanpa kita sadari, dalam menjalankan hidup sehari-hari kita memakai seni didalamnya." Kata Pak Fene

"Hah?" Hilang sudah sosok Renjun yang berakal tinggi.

"Mereka tidak sadar rumah mereka di buat dengan imajinasi yang kuat, juga masakan yang mereka bilang lezat dibuat dengan imajinasi racikan yang enak," Renjun masih diam mencerna apa yang dikatakan gurunya, "kalau dipikir-pikir semua bidang itu tetap berkaitan tapi kebanyakan semuanya bermain dengan imajinasi. Imajinasi bidang khususnya ada di seni atau filsafat yang tidak mungkin dijawab oleh pelajaran eksak."

"Jadi, nak, seni itu tidak selalu berkaitan dengan cat cat dan cat. Seni itu bermain imajinasi dan meluaskan pikiran untuk melakukan sesuatu yang buruk, indah, luas, sempit dan sebagainya."

"Jangan gunakan dokter menjadi satu-satunya standar seseorang dikatakan hebat atau sukses."

"Tapi kan..., di era sekarang memang gitu adanya." Ujar Renjun lirih mengeluarkan pendapatnya.

Perfecti[no]ism (REST)Where stories live. Discover now