🎵1

412 44 21
                                    


No plagiat or Plagiarisme
No nyomot quote tanpa ijin

Temukan cerita asli ini di sini,

https://www.wattpad.com/user/Ryla30

🎵🎵🎵

"Tiati jangan ngebut!"

Acungan jempol dan seruan salam sebagai jawaban, sebelum kupacu motor meninggalkan halaman rumah yang baru beberapa jam lalu menyambut kedatanganku.

Perlu 40 menit di perjalanan, sebelum aku berhasil membawa motor melewati gerbang Masjid. Aku mengambil parkir di dekat balai kecil samping pohon mangga. Tempat ini jauh lebih efisien daripada tempat parkir utama sebagai tempat menunggu untuk memberi kejutan seseorang.

Menyamankan posisi duduk di atas motor, mataku dengan otomatis memindai keadaan sekitar.

Nyaman dan teduh.

Aku masih asik menghitungi buah mangga yang menggantung mengisi batang-batang ranting, saat suara rusuh segerombolan anak kecil yang berlarian keluar menuju pelataran masjid menggema.

Mereka tertawa, saling berkejaran riang.

Dua, tiga anak saling menyalip satu sama lain– berebut tempat terbaik untuk bersembunyi. Sedang beberapa lainnya berlari mengitari pepohonan yang tumbuh rindang mengisi beberapa sudut halaman masjid untuk menghindari kejaran anak yang jaga.

Cuaca sore di pertengahan November ini memang terasa lebih teduh adem, mengingat selepas Dzuhur tadi, mendung merundung langit.

Suasana sore yang adem, bisa membuat orang-orang yang biasanya langsung pulang setelah beribadah, memilih menetap lebih lama. Sekedar mengobrol ringan atau sedikit bernostalgia. Yeah, seperti aku sekarang, melakukan nostalgia ketika melihat keceriaan anak-anak bermain.

"Dulu aku sama Gita juga nggak bakal pulang sebelum Mama memanggil," lirihku tersenyum sendu, saat kenangan itu masih berimbas membawa sesak yang sama pada hati.

Menggulir pandang– dari tempatku berada kini, terlihat muda-mudi keluar dari pintu utama Masjid. Mataku bergerak gesit, mencari sosok yang sudah hampir satu bulan ini hilang dari jangkauan mata.

"Ternyata umur nggak lantas buat pipi bakpau dia kempes."

Aku terkekeh di balik masker. Sedangkan gadis berkhimar pastel yang menjadi pengamatanku masih asik mengobrol di depan sana.

Meraih ponsel di saku jaket, kukirim sebuah pesan pada nomor yang mengabaikan pesan-pesanku sejak signal provider berhasil tergapai ponsel. Sebelum kemudian pandanganku kembali terarah pada gadis tadi.

Si gadis berkhimar pastel itu berhenti, menunduk mengecek ponselnya. Aku yakin dia tengah memasang mimik serius, sebelum kepalanya itu mulai celingukan.

Ketika pandangan kami bertemu. Aku mengangkat tangan, melambai singkat.

Dia terlihat berbicara pada teman-temanya, kutebak itu sebuah bentuk pamitan. Kerena setelahnya, dia mulai berjalan menghampiriku.

Semakin dekat ekspresinya mulai terlihat jelas. Alis membentuk gelombang kasar, mata memicing– mencoba mengintimidasi aku yang nyengir di balik masker.

'Dugh'

"Masih ingat pulang, hah?!" Bentaknya, setelah terlebih dahulu menendang ban depan motorku dengan selebor.

"Dih, bar-bar!"

Dia berdecak kesal, melipat tangan di dada. Wajah judes itu membuat tanganku gatal, ingin mencubit pipinya gembilnya yang tampak terjepit khimar.

SENANDUNG (UP SETIAP SELASA DAN SABTU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang