🎵4

92 33 11
                                    

"Ntos rengse, Neng?" (Sudah selesai, Neng?)

Mendengar suara itu, aku berbalik meninggalkan pekerjaan yang sedari tadi kutekuri. Menghampiri Abah yang muncul dari pintu teras samping.

Berbalut baju kokoh dan peci putih serta sarung coklat kesayangannya, sosok Abah semakin terlihat bersahaja.

"Alhamdulillah atos," jawabku menyalimi Abah lalu menggandeng beliau duduk di meja yang hari ini sengaja disusun memanjang layaknya perasmanan. (Atos : sudah)

"Langkung timana nembe mulih, Bah? Tuh cai teh Abah sampe tos tiis deui. Jadi weh ku Uwa Atun dipayunan. (Darimana dulu baru pulang sekarang, Bah? Air tehnya Abah sampai sudah dingin lagi. Tuh, jadinya diduluin Uwa Atun)."

"Naon eta teh?! Bohong Bah Haji! Pitnah eta teh, pitnah!" Protesan Uwa Atun dari seberang meja, membuatku digelitik tawa.

(Apaan itu? Bohong, Bah Haji! fitnah itu, fitnah).

Uwa Atun adalah wanita berusia di penghujung 50 tahun. Dia sudah mengabdi pada Abah semenjak masih lajang. Kehadiran Uwa Atun sudah layaknya ibu, nenek, bahkan teman curhat bagiku.

"Uwa mah gak suka cai teh. Sukanya kopi tubruk, tanpa gula!"

(Uwa nggak suka air teh. Sukanya kopi, tubruk tanpa gula)."

Aku yang sedang menyeduh air teh terpingkal melihat Uwa Atun berucap sambil meniru gimik model iklan di tivi.

"Ngobrol sareng bapak-bapak di bale payun bumi Pak RT," jawab Abah setelah guyonan kami reda. "Oh, nya, tadi aya salam ti Bu Endah. Saurna, mun aya waktos kedah ameng."

(Ngobrol sama bapak-bapak di balai depan rumah Pak RT. Oh iya, tadi ada salam dari Bu Endah. Katanya, kalau ada waktu disuruh main).

Sontak, aku meringis dalam hati. Bu Endah adalah sosok baik hati yang kurang lebih ikut menjadi saksi bagaimana hidupku dimulai di lingkungan ini.

Sosok berjasa yang bukan hanya memberi ku tempat bernaung, akan tetapi Ibu Endah juga memberiku perhatian dan kasih sayang tulus, saat kehadiranku justru dianggap wabah yang harus disingkirkan oleh orang-orang yang seharusnya adalah keluarga.

Masalahnya sekarang, bukan aku enggan bersilaturahmi ke sana. Hanya saja, gosip tak enak tentangku semakin santer dari warga sekitar. Membuat kaki segan melangkah.

Aku cuma nggak ingin kehadiranku malah merusak nama baik keluarga mereka.

"Heueh Bu, bener. Eta Bu Endah jiga teu sayang kan si aden-nya, kasep kitu. Pendidikkan tinggi, kerjaan bagus maenya rek jeung nu kitu. Gejlog atuh, teu saimbang. Beda kasta."

(Iya Bu, benar. Itu Ibu Endah apa nggak sayang sama anaknya, ganteng begitu. Pendidikan tinggi, kerjaan bagus masa iya mau sama yang modelan begitu. Anjlok dong, gak seimbang.)

"Geulis, emang teu eleh sih. Han atuh sing sadar diri weh. Bibit, bebet, bobot diri wae teu jelas kitu. Tos puguh alus Neng Tata kamamana."

(Cantik, sih, emang nggak kalah. Tapi bibit, bebet, bobotnya saja tidak jelas begitu. Sudah jelas, bagus Neng Tata kemana-mana)."

"Jeung deui mana aya budak parawan digawe ari breng teh, teu mulih bulan-bulanan kitu. Rek di mana teu nyiar piomongan tatangga coba?"

(Lagipula mana ada anak perawan kalau kerja sampai berbulan-bulan nggak pulang? Mau gimana nggak jadi omongan tetangga coba?)"

"Nya, Bu, bener pisan. Karunya weh ka Bapak Haji. Cape peurih, ngadon ngurus parasit."

(Iya Bu, benar sekali. Kasian saja sama Pak Haji. Susah payah ngurusin parasit.)"

SENANDUNG (UP SETIAP SELASA DAN SABTU)Where stories live. Discover now