🎵15

64 24 19
                                    

Matahari di luar sudah nggak malu-malu lagi memancarkan sinarnya menerobos tirai jendela kamar.

Aku melirik jam di nakas, mengerang pelan, lalu kembali bergelung malas dalam selimut.

Tidur selepas subuh memang tidak di anjurkan. Tapi bagiku yang baru bisa tidur saat jarum jam menunjukan pukul 4 pagi, nggak ada pilihan lebih baik lagi.

Semuanya gara-gara si Tuan Kukang.

Dhana benar-benar menjadikanku pesuruh. Dari mulai menyiapkan makanan sampai membantunya menyalin ulang beberapa laporan kerja miliknya.

Untungnya usai numpang sholat tadi, dia masih tahu diri dengan nggak membebankan aku untuk membuatkannya sarapan.

Rencana tidur seharian ku batal. Selepas shalat Dhuha-satu jam lalu, Mei menelpon, memintaku datang ke rumahnya.

"It's okay, Sena. Semuanya akan baik-baik saja." gumamku. Merapalkan kata-kata itu berkali-kali sebagai penyemangat serta meyakinkan diri sebelum keluar dari mobil.

Rumah tingkat dua yang di dominasi warna light grey dan aksen kayu di sebagian besar bagian teras rumahnya, terlihat sejuk di pandang dengan pot-pot tanaman menghiasi.

"Wa'alaikum salam! Eh, Teh Sena. Mari masuk," ajak Harda ramah. Begitu di dalam dia mempersilahkanku duduk.

Hampir saja aku kehilangan fokus, gara-gara melihat senyum dari pemuda yang merupakan adik bungsu dari Rega ini.

"Belum masuk kerja, Har?" tanyaku mencoba mengalihkan kemelut hati.

"Kebetulan lagi nganggur, Teh. Ini aja aku sengaja pulang ke rumah, mau minta bimbingan A Kholik. Sekalian aja tanya-tajya, siiapa tau ada kenalan dia yang butuh tenaga kerja anak kuliahan."

"Memangnya kamu jurusan apa ?"

"Teknik mesin, tapi dikit-dikit bisa lah ilmu perkomputeran mah, Teh."

"Wah, merendah untuk melejit ini," candaku membuat kami tertawa.

Lalu dari balik salah satu lorong, sosok tante Ida, mama mertua Mei, muncul menghampiri kami.

Setelah acara akad hari itu, ini kali ke dua kami terlibat obrolan.

Dalam waktu singkat, aku pun tahu kalau tatapan teduh dan senyum mempesona anak-anaknya adalah turunan dari wanita cantik ini.

"Loh, kok belum disuguhin apapun, Teh Sena nya, Har?" tegur Tante Ida begitu melihat meja tamu masih kosong.

"Haduh...maaf! Keasikkan ngobrol sampe lupa," cengir pemuda itu menepuk kedua lututnya salah tingkah. "Teteh suka minum apa? Rumah ini lengkap kok. Jangan sungkan!"

"Nggak usah repot-repot, air dingin aja. Paling cocok buat cuaca panas hari ini."

"Sip, segera hadir!"

Selepas Harda yang pamit kedapur, aku dan tante Ida kembali mengobrol. Sungguh aku nggak menyangka kami bisa mengobrol akrab seperti ini, tanpa perlu memperpanjang masa kecanggungan sebagai dua orang asing.

Beliau banyak bercerita tentang keluarganya. Bagaimana susah payahnya ia berjuang membesarkan ketiga anak laki-lakinya, tanpa dampingan seorang suami di kota perantauan dulu. Hingga kini, ia dan anak-anaknya itu bisa hidup nyaman di kampung halaman.

"Tapi meskipun bapaknya anak-anak sudah gak ada, tante selalu merasa kalau beliau selalu ada mendampingi kami. Dan itu jadi dorongan semangat paling besar buat Tante untuk nggak menyerah sama rintangan apapun."

Tepat di final cerita, si pasangan pengantin baru terlihat menuruni tangga.

"Nah ini dia yang di tunggu-tunggu. Mama tadinya mau nyuruh nak Sena nginep aja, karena nunggu kelamaan," ujar tante Ida dengan kerlingan menggoda.

SENANDUNG (UP SETIAP SELASA DAN SABTU)Where stories live. Discover now