🎵8

83 31 20
                                    

"Yakin mau masuk?"

Itu pertanyaan sama yang terus aku lontarkan pada Dhana sejak awal keberangkatan kami ke sini.

"Ya yakinlah," jawabnya sibuk merapikan rambut, sama sekali nggak nampak gugup atau seperti orang baru patah hati.

"Udah sampai juga. Seenggaknya bikin perut kenyang dulu baru pulang. Ayo!"

Melihat Dhana keluar mobil segera aku melepas seatbelt dan menyusulnya.

Six Season Hotel, adalah gedung resepsi pernikahan Hania digelar. Dari pintu saja aku melihat tamu undangan yang hadir tidak sedikit. Malah kulihat beberapa pejabat yang sering bolak balik di televisi tengah di wawancarai para wartawan bersama sepasang paruh baya yang tak lain orang tua Hania. Nampaknya pejabat-pejabat itu tamu kehormatan.

Aku meremas dompet tangan, melampiaskan gelisah. Khawatir andai Dhana memancing keributan pasti nggak akan mudah penyelesainnya. Meski sekarang pemuda itu terlihat kalem-kalem saja.

Menarik belakang kemeja Dhana, aku membuat kami tertahan sebelum mengantri pemeriksaan undangan.

"Kamu yakin mau masuk?" tanyaku dalam bisik lebih serius. "Selangkah saja kamu melewati pintu itu. Nggak ada lagi kesempatan balik kanan. Satu lagi, aku akan aduin sama Bapak kalau kamu sampai ngehajar-"

"Bawel banget!"

Aku panik-nggak siap, saat Dhana seenaknya menarikku maju. Begitu pintu tetlewati, aku semakin kewalahan mengikuti langkah lebarnya yang langsung mengarah pada deretan manusia di dekat panggung pelaminan.

"Nggak usah banyak tanya dan jangan coba berani buat ngelepasnya," bisik Dhana tegas.

Remasan tangannya membuatku meringis. Jari-jarinya yang panjang mengisi sela jariku tanganku dengan pas. Dan dalam satu tarikan, dia menempatkan tubuhku di depannya.

Aku menunduk, menatap pada tautan tangan kami. Dhana nampaknya benar-benar butuh penanganan psikis. Saking patah hatinya, dia mulai nggak bisa membedakan antara tanganku dengan mainan squishy.

Si Tuan Kukang bodoh ini pasti nggak berpikir kalau aku juga bisa merasakan sakit saat tanganku diremas sekuat ini. Dan sialnya, aku tertular kebodohan Dhana. Tetap diam menutup mulut, rela dijadikan pelampiasan.

🎵🎵🎵


Kalau bersama Si Tuan Kukang, yang namanya kemudahan itu seolah enggan mendekat. Dhana selalu bilang ; "Kalau ada jalan sulit kenapa harus ambil yang mudah." Dan itu bukan semboyan, tapi situasi nyata setiap aku terlibat sesuatu dangan Dhana.

Kondangan kali ini misalnya. Jejeran hidangan lezat hanya bisa kuhidu aromanya tanpa bisa berpartisipasi mencicipi. Kedua tanganku sibuk membawa dua piring milik Si Tuan Kukang.

"Ngapain bengong di situ? Cepet kesini, Sen!"

Aku mendengus kesal dan segera menghampiri Dhana.

Sering berada dalam posisi nggak mengenakan, membuatku rajin mendoakan Dhana. Berdoa semoga dia segera menikah. Supaya aku bisa bebas dari jasa pesuruhnya.

"Mau makan nggak sih? Keliling sampe pegel, tapi piring cuma isi satu puding sama sepotong pastry."

"Kenapa?"

"Masih pake tanya lagi," Aku memutar mata jengah. "Lapar lah! Rendang, kentang balado sama ribs panggang di sana tadi kelihatannya enak tahu. Kamu malah lewatin gitu aja. "

Tiba-tiba Dhana mengambil kedua piring di tanganku. Aku sudah nyengir bahagia karena akhirnya kesempatan mengisi perut datang. Namun buru saja hendak mengambil langkah balik kanan, Dhana malah merangkulkan tangannya di bahu. Detik berikutnya dia menarikku keluar.

SENANDUNG (UP SETIAP SELASA DAN SABTU)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum