🎵2

173 40 25
                                    

Aku menyimpan lipatan mukena kembali ketempat semula. Sedangkan di kursi rotan samping jendela sana, sudah ada Meira mengawasi setiap gerak-gerikku dengan tatapan awas ala kucing orennya.

Kami sedang berada di kamarku. Sore tadi saat kuantar dia pulang, tiba-tiba Mei memintaku untuk menunggu. "Hanya ambil pakaian salin, mau nginap." Begitu jawabnya sewaktu kutanya.

Awalnya kukira rumah Meira kosong, akan tetapi ketika Meira berlari keluar rumah dengan ransel berwarna hijau melon di punggungnya, aku mendengar suara Tante Sumaya–Ibu Meira yang menyerukan titah agar Meira tetap di rumah.

Aku sempat ingin turun, menyapa beliau. Sayang, Meira keburu mencegah. Katanya Ibunya baru selesai mandi dan hanya handukkan.

Detik itu firasat-ku mengatakan kalau sepasang Ibu dan Anak ini sedang nggak akur.

"Natapnya biasa aja sih. Tahu kok kamu tuh kangen banget sama aku."

Kuletakkan 2 botol minuman dingin di meja lalu menyusul duduk di sampingnya. "Bahaya nanti, kalau aku sampe blushing gara-gara tatapan intensmu itu, Mei."

Meira melotot kesal, mengubah posisi duduk menjadi tegap sambil melipat tangan memasang raut judes.

"Jangan ketawa dan jangan bercanda lagi!"

Aku hanya manggut-manggut kepala meresponnya.

"Denger ya, walaupuan aku udah maafin kamu bukan berarti kamu bebas gitu aja. Kamu masih hutang penjelasan sama aku tahu!"

"Jangan marah-marah terus nanti cepet tua loh. Mana belum ketemu jod– oke, oke!" Cepat-cepat aku bergerak menahan bantalan kursi sebelum dilempar oleh Meira.

"Aku jelasin. Serius!"

"Yaudah, cepetan!" titahnya nggak sabaran.

Menghela nafas pelan, aku pun mulai menjelaskan alasan di balik kejadian sebulan lalu. Mengapa bisa aku pergi tanpa pamit padanya dan lost kontak selama hampir 8 hari lamanya ketika menjalankan tugas di salah satu daerah di pulau bagian timur Indonesia.

Dimana aku mendapatkan tugas di daerah pedalaman. Yang jangankan untuk signal ponsel, bahkan penerangan di perkampungan sana sekedar mengandalkan seadanya tenaga genset. Lamp portabel yang kubawa pun hanya bertahan beberapa hari, kehabisan daya. Jadi sehari-hari, aku dan anggotaku lainnya hanya mengandalkan bohlam 5 watt serta api unggun.

Tapi selama menugas di sana, aku betah. Selain penduduknya ramah, suasananya asri. Telinga-telinga kami lebih banyak dimanjakan kicauan burung daripada deru mesin. Oksigen berlimpah ruah. Paru-paruku langsung bersorak bugar.

"Sebenernya waktu itu aku mampir buat pamit, tapi Tante sama Om lagi nggak ada. Sedangkan udah diburu waktu. Jangankan buat titip pesan ke tetangga, buat mandi aja aku sampe lupa."

"Jorok!!" Cibirnya membuatku tertawa.

"Jangan diulangi lagi" ucapnya tiba-tiba.

Aku tersenyum. Entah karena aku selalu melakukan hal sama tiap tahunnya hingga Meira hapal, atau gadis ini memang sebegitu mengenal diriku.

"Di setiap tahunnya, hari peringatan kepergian Ayah dan Bundamu masih menjadi hari tersulit. Kami mengerti, Sen. Tapi tindakan kamu kemarin nggak tepat. Kami khawatir setengah mati. Kamu nggak kasihan apa pada aku, ibu, bapak dan Abah?"

Aku terdiam mendengar pertanyaan Mei dan memilih mengalihkan pandangan pada botol minuman yang mengembun. Bulir-bulir air di sisian botol mulai membasahi permukaan meja.

Abah adalah kakekku dari pihak Mama Ratna, Ibu sambungku. Walau garis darahku nggak terhitung sebagai cucu kandung beliau, tapi aku sangat menyayanginya. Beliau satu-satunya orang dari pihak Mama yang sejak malam mengerikan itu hingga sekarang– masih mau menganggapku sebagai keluarga. Malam di mana segalanya berubah kelam dalam hidup seorang Senandung.

SENANDUNG (UP SETIAP SELASA DAN SABTU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang